Lihat ke Halaman Asli

Orang Kalang, Masyarakat yang Hilang

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13840880321221189079

[caption id="attachment_300691" align="alignnone" width="293" caption="Prawiro Sutinah dan Keluarga, pada tahun 1950-an. Salah satu keluarga Kalang di Cilacap, Jawa Tengah."][/caption] Orang Kalang, Masyarakat yang Hilang

Pulau Jawa memiliki banyak sub-etnis seperti Using di Banyuwangi, Tengger di Bromo, dan Baduy di Banten. Mereka memiliki ciri khas kebudayaan masing-masing yang sudah banyak diketahui orang. Selain  sub-etnis tersebut, di Jawa masih ada kelompok masyarakat lain yakni orang Kalang. Sebagian orang ketika mendengar nama orang Kalang, jarang yang mengetahui  tentang kelompok masyarakat ini. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Soelardjo Pontjosoetirto (1971) menggambarkan tentang keberadaan orang Kalang yang tersebar di sepanjang sisi utara dan selatan Pulau Jawa.

Selain itu, mitos asal-usul orang Kalang juga menyajikan cerita yang menarik. Mitsuo Nakamura (1983), Antropolog dari Jepang ini mengungkapkan mitos yang berkembang tentang orang Kalang. “Mereka dianggap  keturunan anjing. Mitos lainnya, beberapa orang bahkan percaya kalau orang Kalang keturunan dari kera yang kemudian menikah dengan putri ”, ujarnya. Kata Kalang juga menarik untuk diketahui. Dalam kamus bahasa Jawa yang disusun oleh Gericke Roorda Kalang sama dengan Kedjaba yang mempunyai makna berdiri di luar. Orang Kalang kerap dianggap bukan bagian dari Suku Jawa karena pengaruh mitos dan arti kata tersebut.

Cerita negatif tentang orang Kalang seringkali menutupi peranan mereka. Dalam masyarakat Jawa orang Kalang memiliki posisi yang penting. Menurut Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa (2008), pada abad ke-14 orang Kalang berperan sebagai pengangkut barang dengan mengunakan pedati yang ditarik sapi jantan. Mereka  menjelajahi hutan-hutan di Jawa untuk mengirimkan barang.

Peranan orang Kalang tidak sebatas  sebagai juru angkut, Warto (2007) dalam Disertasi yang berjudul “ Eksploitasi Kolonial dan Perubahan Masyarakat Desa Hutan di Karesidenan Rembang 1865-1940” tetapi juga sebagai penebang kayu. Ketrampilan mereka  menebang kayu dibutuhkan oleh penguasa Mataram untuk pembangunan keraton.

Tidak hanya menjadi juru angkut dan penebang kayu, orang Kalang juga terkenal sebagai pengusaha yang sukses. Pada awal abad ke-20, di Kotagede, Yogyakarta, Prawiro Suwarno salah satu orang Kalang yang dijuluki raja gadai. Ia memiliki sebelas rumah gadai pada tahun 1920-an. Sebagian orang menganggap keberhasilan orang Kalang karena sifat tekun, hemat dalam pengelolaan uang, dan memungut bunga tinggi.

Melimpahnya kekayaan orang Kalang tidak dari faktor individu tetapi juga dari faktor kebudayaan seperti pernikahan sesama saudara dan identitas sebagai pengusaha. Mereka cenderung menikahkan anaknya dengan sesama kerabat Kalang. Pernikahan tersebut untuk menjaga agar darah mereka tidak tercampur dengan orang lain. Claude Guillot (2011), peneliti dari Perancis, “ada kemungkinan pernikahan antar orang Kalang dapat membatasi kekayaan keluarga  agar tidak jatuh ke tangan orang luar Kalang”, katanya. Identitas, sebagian besar generasi muda Kalang lebih tertarik menjadi pedagang atau pengusaha daripada pegawai. Selain itu, mereka merasa wajib untuk memperoleh keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain.

Kebudayaan lainnya juga menarik untuk diketahui lebih mendalam.  Raffles (1811-1816) ketika menjabat sebagai gubernur sempat membuat catatan yang cukup detail tentang orang Kalang yang meneruskan tradisi leluhur seperti upacara wuku ang’gara, wuku galingan, dan wuku gumreg. Wuku ang’gara yaitu upacara keagamaan yang dilaksanakan pada hari Kliwon (salah satu hari dalam kalender Jawa)  ke lima sedangkan wuku galingan hari suci yang digunakan untuk berdo’a dan istrirahat. Sementara itu, wuku gumreg merupakan hari untuk melaksanakan upacara sedekah bumi sebagai bentuk rasa syukur.

Ritual selanjutnya yang sering dilakukan yaitu upacara Kalang Obong. Mereka melakukan upacara tersebut untuk menghormati orang tua atau kerabat yang sudah meninggal. Upacara itu dilakukan dengan cara membakar “jasad” dan benda-benda yang disukai. Hampir mirip dengan upacara Ngaben di Bali, bedanya, orang Kalang menggunakan boneka kayu sebagai pengganti jasad anggota keluarga. Sementara itu, tubuhnya tetap di kubur dalam tanah.

Selain unik dari sisi budaya, orang Kalang menyimpan cerita menarik dalam aspek sosial. Menurut Soelardjo, orang Kalang di Yogyakarta dan Surakarta mendapat panggilan terhormat seperti Nganten atau  lurahe.  Panggilan tersebut muncul karena mereka memiliki peranan penting atau jumlah kekayaan yang  melimpah sehingga dipandang terhormat.

Dalam kehidupan sehari-hari orang Kalang tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Mereka merawat dan menyekolahkan anaknya ke pendidikan formal. Pelatihan jiwa kewirausahaan sejak dini yang menjadi  karakter khas orang Orang Kalang. Setiap pulang sekolah  atau akhir pekan mereka mewajibkan anaknya untuk membantu berjualan di pasar. Ketika sudah dewasa, anak-anak tersebut sudah siap melanjutkan usaha keluarga atau membuka cabang di tempat lain.

Pelatihan usaha  sejak dini, juga untuk menjaga identitas orang Kalang sebagai pengusaha atau pedagang. Selain pelatihan, orang Kalang dibekali semangat kewirausahaan yang tinggi. Beberapa  orang sering kali memperbandingkan etos kerja orang Kalang dengan etnis Tionghoa.

Perjalanan orang Kalang dalam lintasan sejarah menemui masa surutnya. Ketika masa Revolusi, orang Kalang di Yogyakarta mengalami penjarahan. Setelah peristiwa itu, usaha mereka banyak yang mengalami gulung tikar.

Kemunduran usaha orang Kalang tidak hanya disebabkan dari faktor eksternal tetapi juga internal. Generasi muda Kalang mulai tertarik untuk menjadi pegawai swasta atau negeri. Tantangan zaman yang lebih kompleks membuat orang Kalang beralih profesi, bagi mereka berdagang tidak lagi cukup untuk menjamin hingga masa tua.

Proses pergeseran tidak sebatas pada profesi tetapi juga identitas. Kekerabatan orang kalang yang diikat lewat pernikahan mulai ditinggalkan. Banyak generasi Kalang muda Kalang menikah dengan orang luar Kalang. Keturunan mereka tidak lagi terikat secara utuh sebagai orang Kalang. Akhirnya, intensitas untuk bertemu dengan kerabat Kalang lain berkurang termasuk ritus-ritus budayanya.

Melihat perjalanan sejarah orang Kalang, menjelaskan bahwa perubahan dalam sub etnis pasti terjadi. Di Jawa, salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keragamaan etnisnya wajib dijaga. Sebelum kita terlambat, mari merawat dan menjaga kebudayaan Indonesia agar bisa dilestarikan untuk generasi penerus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline