Lihat ke Halaman Asli

Pradista Intan

Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang

Pendekatan Pragmatik dalam Pengajaran BIPA: Membangun Keterampilan Berkomunikasi Sesuai Konteks dan Situasi Tutur

Diperbarui: 4 April 2024   12:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik.com

Pengantar

Dalam upaya pengajaran bahasa kepada penutur asing, pendekatan yang tradisional cenderung menitikberatkan pada aspek tata bahasa, kosakata, dan struktur bahasa lainnya. Aspek-aspek tersebut penting untuk dipelajari dan dipahami oleh penutur bahasa asing yang ingin mempelajari bahasa Indonesia. 

Namun, jika hal yang ingin dicapai adalah keefektifan dalam berkomunikasi serta keterampilan berkomunikasi lintas budaya, aspek dan pendekatan yang sudah disebutkan tadi belum cukup untuk diberikan. Dalam hal ini, pragmatik sebagai cabang linguistik yang mempelajari penggunaan bahasa dalam situasi kontekstual muncul sebagai alternatif yang menarik dan relevan.

Dengan menyoroti peran pragmatik dalam memahami dan menggunakan bahasa secara efektif dalam konteks nyata, pengajaran bahasa kedua dapat diperkaya secara signifikan. Pragmatik menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana makna disampaikan, diterima, dan dipahami dalam interaksi sosial, memungkinkan siswa untuk mengembangkan keterampilan komunikatif yang lebih autentik dan kontekstual. 

Dalam tulisan ini, saya akan mengeksplorasi berbagai cara di mana pendekatan pragmatik dapat diterapkan dalam pengajaran BIPA melalui materi dan strategi ajar yang dapat meningkatkan efektivitas pengajaran bahasa Indonesia dan membantu siswa memperoleh keterampilan komunikatif yang dibutuhkan sesuai konteks atau situasi tutur yang sedang terjadi.

Miskomunikasi dan Kesalahpahaman Konteks

Suyono (1990) menyatakan bahwa dalam menelaah bahasa, pragmatik memperhatikan faKtor-faktor yang mewadahi pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemakaian bahasa tidak hanya dituntut menguasai kaidah-kaidah gramatikal, tetapi juga harus menguasai kaidah-kaidah sosiokultural dan konteks pemakaian bahasa1. Masalah yang sering ditemukan adalah kesalahan pemahaman konteks. Sebagai contoh, dalam situasi percakapan antara penutur A (penutur bahasa Indonesia) dengan penutur B (penutur asing) di mana penutur B terlambat datang ke kelas.

A: "Jam berapa sekarang?"

B: "Jam setengah sepuluh pagi, Bu."

Dalam hal ini, penutur B tidak memahami makna atau konteks yang dimaksudkan oleh penutur A. Penutur A menanyakan pukul berapa saat itu, tetapi sebenarnya A bukan ingin mengetahui pukul berapa saat itu melainkan lebih pada keingintahuan sebab atau alasan mengapa B datang terlambat dan agar B mengetahui dengan sendirinya sudah berapa lama dia terlambat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline