Lihat ke Halaman Asli

Pradirwan

Mencatat apa saja.

Suatu Sore Sebelum Mudik (3)

Diperbarui: 24 Juli 2015   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Aku pamit mudik duluan kak", ucapnya siang itu.

"Sampai bertemu lagi di kampung, assalamualaikum..." kalimat itu mengakhiri pertemuan kami dengan adik.

"Ya, insyaallah, wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh... " jawabku mengantarnya menaiki angkutan kota yang sudah menunggu beberapa detik.

Panas mentari seperti tak seterik biasanya. Beberapa awan gelap menutup cahayanya. Bandung berawan siang itu. Sayangnya cuaca seperti itu tak didukung oleh tanah yang sudah terlanjur kering. Debu-debu beterbangan diterpa angin dan deru kendaraan bermotor yang di dominasi para pemudik. Ya, musim mudik tahun ini sudah dimulai.

Aku kembali melangkahkan kaki ke rumah. Ada perasaan "kosong" yang tertinggal setelah adik pulang mudik.

Memang ini bukanlah hal baru bagiku. Orang-orang biasa datang dan pergi. Pertemuan dan perpisahan adalah dua hal yang tak dapat dihindari. Dan kesendirian adalah hal yang pasti terjadi. Seperti halnya ketika kita lahir, kita sendiri, begitu pun ketika meninggal, kita juga pasti akan sendiri. Begitulah hakikat hidup, datang dan pergi.

Dalam pertemuan, sejatinya kita sedang menanamkan benih-benih perpisahan. Bersiap-siaplah. Isilah dengan segala kebaikan, hingga bila tiba waktu perpisahan, itu akan menjadi momen yang tak terlupakan. Tiada penyesalan.

Aku membuat lagi sebuah catatan kehidupan pada sebuah lembar baru. Hidup yang harus kujalani. Menelusuri potongan takdir yang telah Tuhan gariskan sebelum aku "resmi" diciptakan. Catatan inilah yang akan aku berikan kepada Tuhan ketika ku kembali kepada - Nya. Sebuah Catatan Perjalanan saat aku diberi kesempatan untuk singgah di dunia.

Aku merenung. Membaca catatan yang telah ku buat beribu hari yang lalu hingga saat ini. Disana ada kisah, yang orang-orang bilang, suka maupun duka. Entah apa maksudnya. Bagiku itu hanyalah sebuah kisah.

Tak terhitung detail kisah itu yang ku lupakan, namun beberapa diantaranya berhasil aku simpan. Serpihan kisah itu mulai ku reka ulang.

Oh Tuhan, begitu banyak nikmat yang Engkau anugerahkan? Lantas mengapa aku sering lupa bersyukur, sampai Engkau harus mengingatkanku berkali-kali, "maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline