Lihat ke Halaman Asli

FPI dan Kajian Mendalam tentang Islam Kita

Diperbarui: 18 Januari 2017   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dengan suksesnya aksi 212 yang dihelat di Jakarta ternyata memberikan efek yang begitu besar pada tatanan masyarakat. Dunia seakan dikejutkan dengan begitu besarnya kekuatan yang muncul saat Negara yang mayoritas islam ini, umatnya bersatu untuk satu tujuan yaitu membela kitab suci umat islam, Al-Qur’an. Walaupun sempat dialihkan dengan adanya upaya makar oleh segelitir orang, tetapi aksi ini kemudian berjalan dengan cukup baik.

Tokoh yang kemudian mendapatkan peran penting disini adalah Habib Rizieq, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) yang seringkali membuat aksi kontrofersial melalui pendekatan kekerasan dalam menyampaikan maksudnya. Banyak orang melihat negative jalan yang ditempuh oleh FPI dalam berdakwah dimana seringkali aksi anarkis dijadikan sebagai pendekatannya.

Banyak cibiran muncul dipermukaan saat islam yang lebih moderat kemudian memandang bahwa anarkisme bukanlah ajaran Islam. FPI tidak disegani oleh masyarakat yang tidak sependapat dengan jalan kekerasan yang ditempuhnya.

Tetapi yang unik, setelah aksi 411 yang merupakan aksi sebelum 212, media sosial digemparkan dengan begitu banyak foto dan ulasan yang membahas tentang betapa FPI telah begitu gagah melindungi pihak kepolisian dan bukanlah dalang dari kekacauan yang membuat ditutupnya aksi 411 dalam keadaan ricuh. Masyarakat Indonesia yang mudah labil pun mulai banyak bersimpati dengan betapa heroiknya FPI dalam aksi tersebut.

Seolah semakin mendapatkan panggung, aksi 212 yang masih FPI dan pemimpinnya sebagai tokoh utama berjalan dengan sangat baik dan disebut-sebut sebagai aksi paling damai dengan jumlah masa yang paling besar. Apa yang kemudian bisa terjadi? sangat mudah diprediksi, FPI mendapatkan sorotan dan simpati yang luar biasa. Mendapatkan semua atensi ini menjadikan FPI semakin menjadi-jadi. FPI seolah merasa menjadi pasukan khusus Islam yang mulia dan memiliki kekuatan untuk bertindak bahkan diluar kendali hukum. Sebagai salah satu contohnya aksi sweeping yang dilakukan FPI dipusat perbelanjaan atas turunnya fatwa MUI yang melarang adanya paksaan untuk umat Islam menggunakan atribut natal.

Satu hal yang pasti dan cukup membuat geram Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto adalah sweeping hanya bisa dilakukan oleh aparat keamanan, karena merekalah pihak yang berwenang. Upaya paksa dari suatu ormas kepada masyarakat itu tidak dibenarkan dan melanggar hukum. Dan dilain sisi yang perlu juga dipahami dan disampaikan langsung oleh Tito Karnavian bahwa fatwa MUI adalah tidak mengikat dan bukanlah hukum positif atau hukum yang berlaku saat ini di suatu negara. Ini sudah diluar batas, saat FPI merasa mendapatkan perannya maka yang terjadi selalu diluar kendali bahkan diluar kaidah hukum.

Selain menguatnya dukungan atas anarkisme FPI, dilain sisi aksi ini kemudian menginspirasi banyak orang untuk kembali mengkaji Islam. Islam moderat yang menjadi corong islam di tanah air seperti NU dan Muhammadiyah menjadi kurang diminati karena tidak memiliki sikap. Dalam kondisi ini, pergerakan yang menjadikan politik sebagai dasar pergerakannya mampu mencuri perhatian.

Sebagai analogi, masyarakat yang menderita dan mulai jengah dengan politik yang telah dianggap kotor dan tanpa harapan perbaikan itu dibangunkan dengan janji hidup yang lebih baik melalui jalan yang sudah dikenal dengan baik yaitu jalan islam. Manusia Islam mana yang kemudian tidak tertarik dengan semangat perubahan dan teriakan gema pembebasan?.

Dikemas dengan begitu cerdik, kritis, data dan pembenaran surat serta hadist, gerakan ini membangkitkan mereka yang telah kehilangan harapan dan berubah menjadi kritikus karbitan.

Setuju dengan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anas Saidi yang menyebutkan bahwa aksi bela Islam menunjukkan fenomena menguatnya kelompok masyarakat yang memahami agama hanya berdasarkan teks. Bahkan dia khawatir, proses Islamisasi yang selama ini tekstualis akan menyuramkan masa depan Indonesia. Kebencian dan fitnah dipertontonkan di ruang publik.

Lebih jauh lagi, Ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Fuad Mahbub Siraj mengatakan, problem paling mendasar berkembangnya kelompok radikal adalah pengetahuan atau tradisi intelektual yang semakin berkurang dalam masyarakat. Lemahnya pengetahuan membuat masyarakat awam mudah terpengaruh aliran radikal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline