Pada saat itu, pria dan wanita seringkali digambarkan sebagai dua sisi koin yang menyatakan bahwa adanya perbedaan fisik yang diperlihatkan dan memiliki kesamaan nilai diantaranya. Namun, saat ini tampaknya salah satu sisinya seakan telah berkarat. Perumpamaan ini mewakilkan permasalahan gender di Indonesia.
Menurut Komnas Perempuan, terdapat pelaporan kasus sebanyak 453.524 laporan dengan 339.782 laporan merupakan laporan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) pada tahun 2022. Selain itu, terdapat data yang menyatakan bahwa adanya angka kematian bunuh diri pada pria sebesar 4,8 per 100.000 orang. Data tersebut menjelaskan bahwa, pria kebih rentan mengalami kasus bunuh diri dibandingkan dengan wanita yang sebesar 2,0 per 100.000 penduduk. Apakah permasalahan tersebut merupakan hal yang genting sehingga perlu penanganan segera?
Berdasarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau yang sering dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu pada poin kelima menjelaskan mengenai tujuan untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua pria dan wanita sebagai syarat penting bagi Pembangunan berkelanjutan yang adil serta inklusif.
Sebelumnya, kesetaraan gender merupakan sebuah konsep yang mengacu pada kesetaraaan penuh pria dan wanita untuk menikmati rangkaian lengkap mengenai hak-hak politik, ekonomi, sipil, social, dan budaya. Di Indonesia sendiri, kesetaraan gender belum terlaksana dengan maksimal karena adanya stereotip seseorang terhadap gender. Stereotip sendiri adalah generalisasi mengenai perbedaan gender dan peran sehingga seringkali menyebabkan pembenaran diskrimani gender secara luas.
Sebagai contoh, pada sisi pria seringkali terdengar adanya maskulinitas yang merujuk pada pandangan mengenai bagaimana pria seharusnya bertindak, berperilaku, dan menjalani hidup mereka. Pria harus kuat akan fisik, pengendalian akan emosi individu yang menjelaskan bahwa pria tidak boleh menangis, tidak boleh untuk meluapkan perasaannya ke orang lain, pria yang tidak melawan adalah pria yang lemah, pria harus menjadi pencari nafkah sehingga tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan pria harus menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Tidak hanya pria, feminitas yang telah melekat pada wanita yang mana wanita akan dianggap cerdas apbila mereka dapat merepresentasikan tubuhnya kepada tubuh yang ideal dan perilaku yang dikatakan normal bagi wanita. Dalam hal ini, stereotip yang berlaku, seperti wanita harus selalu tampil good looking pada pandangan setiap orang, wanita tidak perlu mencari uang karena tugasnya hanya sebagai pelaku pekerjaan rumah tangga, adanya pembatasan pergaulan, dan lain sebagainya.
Dampak pada stereotip tersebut dapat membawa pengaruh positif maupun negatif. Dalam hal ini, dampak positif berupa adanya kepercayaan terhadap validasi masyarakat, kepercayaan diri meningkat, dapat memenuhi kebutuhan, mendapatkan rasa bangga, dan lain sebagainya mungkin saja dapat terealisasikan.
Dampak negatif berupa adanya gangguan psikologis, kesulitan dalam berkomunikasi, munculnya tekanan berlebih, menggunakan obat pelangsing, dan yang paling parah adalah munculnya ketidakpastian identitas gender juga mungkin saja terjadi. Dalam hal ini, sebuah dampak negatif pasti akan muncul bila sebuah stereotip yang memang berdampak negatif tidak segera dihilangkan. Meminimalisir berbagai pola pikir negatif yang ada di masyarakat mengenai isu stereotip gender dapat menggerakkan Indonesia untuk menyukseskan SDGs.
Pendekatan norma pada lingkungan tetap perlu ditegakkan. Dalam hal ini, diperlukan Batasan pelaksanaan kesetaraan agar tidak melanggar adat dan istiadat yang telah turun temurun ada. Ingat bahwa, semua orang sebagai manusia memiliki hak dan martabat yang sama sesuai dengan kemampuan individu. Mengakses pendidikan dan berbagai sumber daya lainnya tanpa adanya diskriminasi tetap menjadi hal yang penting untuk digalakkan. Selain itu, pelaksanaan hukum juga tetap perlu ditegakkan. Seringkali, adanya kalimat-kalimat yang seolah malah mendukung pelaku dan menyalahkan korban, seperti "salah sendiri menggunakan pakaian yang ketat, salah sendiri ganteng, salah sendiri...". Hal ini pun tidak akan menyelesaikan kasus-kasus gender di Indonesia.
Semua selalu diawali oleh diri sendiri dan semua selalu diakhiri oleh diri sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H