Situasi di lini masa dan kondisi di tengah masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Bukan disebabkan karena kekhawatiran kasus Omicron yang memecahkan rekor setiap harinya. Tetapi munculnya penolakan yang masif di masyarakat tentang aturan baru dalam pengambilan manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Bahkan ada petisi terkait hal ini dan sudah ditanda tangani lebih dari ratusan ribu orang.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi di kantor saya. Dalam berbagai diskusi antar sesama karyawan, banyak dari mereka tidak setuju terhadap peraturan menteri mengenai JHT ini. Berbagai asumsi pun bermunculan tetapi benarkah aturan baru JHT mendegradasi tujuan utama sebagai perlindungan terhadap masyarakat, khususnya karyawan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sejatinya kita perlu memahami apa alasan utama penolakan tersebut dari kacamata karyawan. Kenapa harus karyawan? Karena yang terdampak langsung adalah para pekerja di sektor swasta.
Alasan pertama mengapa banyak yang tidak setuju terkait Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 tahun 2022 adalah iuran tersebut berasal dari gabungan karyawan dan perusahaan itu sendiri tanpa ada subsidi dari Pemerintah. Jadi seyogyanya hal tersebut merupakan hak dari masyarakat sendiri kapan dan berapa jumlah dana JHT yang ingin dicairkan.
Masyarakat menganggap seharusnya tidak ada intervensi dan pembatasan dari Pemerintah. Karena sifatnya hampir mirip dengan tabungan mandiri karyawan. Sehingga pada saat dibutuhkan sewaktu-waktu dana tersebut dapat diambil dengan mudah dan cepat tanpa ada prosedur yang berbelit-belit.
Pandangan penolakan kedua ini lebih kepada asumsi dan dugaan terkait dana JHT yang tidak ada. Mengapa demikian? Karena banyak kekhawatiran iuran JHT ini dipergunakan oleh Pemerintah untuk membiayai berbagai proyek strategis Nasional termasuk pembiayaan pemindahan IKN.
Meskipun sudah tegas dijelaskan dari perwakilan Kementerian Ketenagakerjaan bahwa pemberitaan tersebut tidak benar, tetapi informasi ini sudah terlanjur berkembang liar di masyarakat. Karena logisnya jika dana tersebut memang ada, kenapa susah untuk dicairkan? Apalagi pencairannya harus menunggu 10-20 tahun kemudian.
Alasan terakhir adalah sistem perlindungan ketenagakerjaan bagi karyawan yang dianggap belum memadai. Sebagai contoh adalah perlindungan bagi karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tengah kondisi pandemi saat ini. Menunggu setahun saja sudah sangat lama apalagi menunggu bertahun-tahun lamanya.
Memang Pemerintah sudah memberikan perlindungan bagi karyawan jika kehilangan. Skema tersebut melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Nantinya bagi karyawan yang terkena PHK akan mendapatkan manfaat uang tunai secara bertahap setiap bulan selama 6 bulan. Hanya saja program JKP merupakan program baru tentu efektifitas implementasi kondisi di lapangan masih diragukan. Atas dasar itulah mengapa dana JHT dianggap sebagai satu-satunya solusi.
SDGs dan JHT
Dalam proses pengembangan pembangunan berkelanjutan atau yang biasa dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terdapat tujuh belas indikator dalam mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuannya melalui pemenuhan hak dasar manusia yang berkualitas secara adil dan setara untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Tentu hal ini selaras dengan tujuan akhir dari program JHT.
Secara harfiah JHT memiliki kepanjangan Jaminan Hari Tua. Hal tersebut menunjukkan bahwa tujuan utamanya adalah memberikan jaminan bagi masyarakat khususnya karyawan untuk memiliki penghidupan yang layak di masa tua bukan short term alias jangka pendek. Hal inilah yang ingin dicapai oleh Pemerintah agar memastikan masyarakat dapat memperoleh seluruh akses kesehatan, sosial dan ekonomi tanpa ada masalah secara finansial saat memasuki usia tidak produktif.