Saat ini jumlah pengaduan kekerasan terhadap anak baik untuk bullying di pendidikan dan media sosial meningkat dengan pesat. Setiap hari kita disuguhi berita dan menonton fenomena kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat 37.381 laporan dan 2.473 laporan tersebut diantaranya mengenai bullying dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019. Fakta ini tentunya harus menjadi keprihatinan kita semua.
Sebagai contoh peristiwa yang baru-baru ini terjadi di SMAN 12 Bekasi dimana seorang guru melakukan pemukulan terhadap kedua siswanya dikarenakan terlambat. Nahasnya, perbuatan ini direkam oleh salah seorang siswa dan videonya viral. Dan akhirnya seperti yang mudah kita tebak adalah sekolah menonaktifkan guru tersebut, dinonaktifkan dari jabatan sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan terancam dipenjara setelah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan tuduhan tindakan kekerasan pada anak.
Menariknya tidak lama setelah dinonaktifkan oleh pihak sekolah dan Dispendik Jawa Barat, muncul sebuah petisi di change.org dengan judul Jangan Mutasi/Menonaktifkan Pak Idi.
Hingga hari ini (16/2), berdasar data dari www.change.org, jumlah yang menandatangani petisi ini sudah mencapai 1.079 akun. Fakta ini tentu membuat kita dilematis dan kritis, faktor apa yang melatarbelakangi munculnya petisi ini dimana seorang guru yang dituduh melakukan kekerasan kepada siswa malah dibela oleh siswa nya sendiri? Bahkan pada saat guru tersebut meninggalkan sekolah, banyak siswa berkumpul dan menangis di lapangan untuk meminta agar pak Idianto, guru yang diduga melakukan pemukulan, agar tetap dipertahankan.
Berdasarkan uraian penjelasan yang saya kutip dari petisi tersebut, terdapat tiga faktor penyebab para siswa membela pak Idianto antara lain memiliki integritas yang tinggi, bersih dan pengetahuan yang luas. Ketiga karakter inilah yang menjadikan pak Idianto diidolai oleh para siswa. Makanya meskipun memang diakui dalam menegakkan sesuatu seorang pak Idianto dianggap melakukan kekerasan, akan tetapi menurut para siswa tersebut banyak perubahan yang dilakukan misalnya aturan-aturan ditegakkan, pungli diberantas hingga menjadikan sekolah menjadi lebih berkarakter.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 Pasal 54 ayat 1, anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Sepintas pasal ini bertujuan sangat baik untuk melindungi siswa dari tindakan kekerasan apapun di lingkungan sekolah, namun sebenarnya jika diperhatikan lebih jauh pasal ini bisa multi-tafsir dan rentan untuk disalah gunakan.
Kejadian kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh tenaga pendidik di sekolah selalu berujung pada hukuman kepada guru, baik penyelesaian secara kekeluargaan melalui sang guru untuk meminta maaf kepada korban beserta orang tuanya hingga berujung mutasi serta penonaktifan dari jabatan hingga pidana. Sanksi seperti ini sudah sangat umum diterima bagi pelaku kekerasan kepada siswa, tanpa pernah melihat secara khusus kasus per kasus.
Sebagai contoh kasus diatas, bahwa pak Idianto melakukan pemukulan kepada kedua siswa dilatarbelakangi oleh kedua korban yang sudah mengetahui dirinya terlambat terkesan sengaja untuk santai dan kurang menghiraukan instruksi. Hal inilah yang diduga memicu emosi dari pak Idianto hingga terjadi pemukulan tersebut.
Memang kita semua sepakat bahwa tindakan kekerasan apapun tidak dibenarkan meskipun tujuannya adalah sebagai pembinaan. Namun tentu,
pemerintah dan aparat negara harus dapat secara jernih dalam memberikan sanksi bagi guru.
Tidak semua kasus kekerasan guru kepada murid yang terjadi di sekolah selalu dititikberatkan sanksinya kepada guru. Perlu juga melihat pemberian sanksi kepada korban yang bersangkutan.