Pukul 4 dini hari. Kereta Api Majapahit yang saya tumpangi berhenti di stasiun Sragen. Stasiun pemberhentian terakhir di Jawa Tengah. Selanjutnya, kota terdekat yaitu Ngawi, sudah masuk Jawa Timur. Tapi perjalanan masih jauh, baru setengah perjalanan dan sudah menempuh waktu 8 jam.
Total perjalanan kereta kelas ekonomi Majapahit jurusan Jakarta - Malang adalah 16 jam. Ditambah sedikit-sedikit telat karena harus mengalah dan berhenti di stasiun kecil di luar jadwal jika berpapasan atau akan disalip oleh kereta yang kelasnya lebih tinggi. Belum adanya jalur ganda atau double track pada rute Sragen ke arah Malang membuat kereta harus saling bergantian memakai satu jalur.
Ah, akhirnya perjalanan panjang usai juga. Stasiun Malang Kota Baru menyambut badan lelah dan mata ngantuk saya. Santap siang jadi agenda pertama tentunya. Sembari menunggu waktu check in penginapan kurang lebih 4 jam lagi yakni jam 2 siang.
Pilihan siang itu jatuh pada Sate Gebug yang konon katanya legendaris karena sudah ada sejak 1920. Baiklah, saya juga sadar kok, sekarang ini selain menambahkan "khas kota mana", penambahan "berdiri sejak kapan" juga jadi semacam strategi pemasaran. Semakin tua "sejak"-nya otomatis dianggap semakin legendaris dan jadi buruan wisatawan standar macam saya ini.
Jarak warungnya sekitar 1,5 km dari stasiun. Terletak di Jalan Kajoetangan. Saya memilih berjalan kaki melewati Alun-alun Tugu Malang, ke arah Jalan Kahuripan, menuju persimpangan Jalan Kajoetangan. Walau hampir tengah hari, tapi pepohonan rindang di sepanjang jalan cukup membuat teduh. Warung kecilnya berada persis di sebelah McDonald's.
Pengunjungnya tampak sepi siang itu. Saya memesan dua porsi sate biasa dan tanpa lemak, nasi putih, dan es teh manis. Saat tersaji, ukurannya lumayan besar dan gemuk. Sekilas mirip sate buntel di Solo. Tapi setelah coba dipotong, ternyata berbeda.
Satu Buntel terbuat dari daging cincang dibungkus lemak, sedangkan sate gebug adalah daging yang seperti namanya "digebug" hingga agak halus, kemudian dililitkan ke tusuk bambu. Jadi tekstur dagingnya masih terasa.
Sajian sate memang tak pernah gagal membuat saya ngiler. Tapi sayangnya, saya kurang cocok dengan rasanya. Ada bumbu rempah-rempah yang saya tak tahu apa namanya, tapi buat saya mengganggu rasa original daging bakar yang saya sukai. Rasa yang sama juga terasa pada bumbu kecapnya. Tapi karena dasarnya daging bakar, dan saya sangat lapar, ya cukup pas dijadikan menu santap siang merangkap sarapan ini.
Seperti lapar, badan pegal pun harus dibayar tuntas. Tentu saja dengan beristirahat dan tidur siang sejenak di penginapan.
Hujan cukup lebat sore hingga malam itu. Tampaknya saya kurang beruntung untuk malam mingguan. Karena itu, makan malam saya pun sedikit telat. Makan malamnya tak seberapa istimewa dan unik. Hanya di sebuah depot mie ayam bernama Hot Cui Mie yang gerainya tersebar di beberapa tempat di Malang termasuk di mall. Saya tidak pernah memasukkan makanan mall sebagai makanan yang wajib di-explore dan diceritakan. Hehehe.
Namun, yang istimewa justru makanan penutupnya. Wedang Angsle. Bisa dibilang saya jatuh hati pada minuman yang pertama kali saya coba ini. Warungnya bernama Ronde Titoni yang terletak di Jalan Zainal Arifin. Satu kompleks dengan Rawon Nguling yang legendaris (tapi saya gagal mencicipinya). Lagi-lagi ada embel-embel legendarisnya karena warung ini sudah berdiri sejak 1946.