"Adat kematian masyarakat Toraja yang sudah ada sejak berabad-abad lalu ini hanya akan berakhir jika masyarakat Toraja sudah tidak lagi mengenal gotong royong," ujar Bu Marla saat bercerita tentang adat kematian Toraja.
Bu Marla menjadi teman ngobrol dan ngopi saya saat singgah menuntaskan sore di Buntu Pune', Toraja Utara. Beliau adalah seorang yang menurut penilaian saya membaktikan diri untuk menjaga sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat Toraja dengan sangat ikhlas.
Caranya bercerita dan menjelaskan tentang Toraja dan masyarakatnya, menunjukan bahwa beliau seorang terpelajar. Baru kemudian saya tahu bahwa beliau adalah seorang arkeolog lulusan Universitas Hassanudin.
Lewat cerita-cerita Bu Marla di bawah alang (lumbung padi) yang memang berfungsi sebagai tempat penerima tamu itu, saya dapat sedikit mengetahui tentang masyarakat Toraja, tidak sekedar situs-situs kunonya saja. Walaupun tak secara detail diceritakan oleh Bu Marla.
Sebelumnya, Buntu Pune' sendiri merupakan situs kuno di mana terdapat Tongkonan tua dan tampak sederhana. Letaknya dekat dengan Kete Kesu', namun kondisinya jauh berbeda. Jika Kete Kesu' adalah tempat wisata yang cukup riuh dan komersil,Buntu Pune' lebih tepat disebut tempat menggali cerita (jika mau sekedar 'menyapa' Bu Marla) yang tenang dan bersahaja.
Kepercayaan Kuno
Hal paling pertama yang saya tanyakan tentu saja bagaimana segala hal tentang kematian menjadi sangat ikonik di Toraja. Budaya kematian di Toraja merupakan warisan dari kepercayaan kuno, Aluk Todolo. Aluk Todolo sendiri bukan hanya kepercayaan, tetapi sebuah tata hidup masyarakat Toraja yang mengatur sistem pemerintahan, kemasyarakatan, dan budaya.
Menurut Bu Marla, dasar dari ajaran Aluk Todolo ada tiga, yaitu, sebagai manusia kita harus menjaga keharmonisan dengan sang pencipta, sesama manusia, dan alam. Tampak mirip dengan Tri Hita Karana yang dianut oleh masyarakat Bali. Ya, Aluk Todolo diakui sebagai aliran dari Hindu-Bali atau Hindu Dharma Aluk Todolo.
Kepercayaan Aluk Todolo adalah kepercayaan animisme yang mempercayai roh-roh leluhur. Leluhur orang Toraja konon turun dari langit menggunakan tangga. Tangga gaib itulah yang dipercaya menjadi jalur komunikasi roh orang-orang Toraja yang telah meninggal dengan sang pencipta.
Dalam adat kematian orang Toraja, setidaknya ada tiga hal yang dilakukan oleh penganut Aluk Todolo. Pertama, percaya bahwa orang yang sudah meninggal tapi belum melalui upacara, dianggap belum meninggal. Mayatnya akan disimpan di dalam rumah dengan pengawet hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Mayat itu diperlakukan layaknya orang hidup namun sedang sakit. Keluarga akan memberinya makan, minum, rokok, mengganti baju, hingga menaruh mangkok sebagai tempat buang air.