Lihat ke Halaman Asli

Pradhany Widityan

TERVERIFIKASI

Full Time IT Worker

Lombok 01: Potret Keramaian Gunung Rinjani

Diperbarui: 6 Juli 2016   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keramaian Puncak Anjani, Rinjani (Dok. Pribadi)

Akhirnya, setelah lima hari empat malam, saya dan sembilan orang teman saya mengakhiri perjalanan luar biasa dan sarat kesan, walau kadang sedikit keluhan tetap terlontar. Lelah dan keluh kesah, hingga putus asa yang kadang muncul di tengah jalan tak menjadikannya lara. Pada akhirnya, suka ria dan hati yang lega terpancar saat mobil pick-up bertuliskan “RESCUE SAR Lombok Timur” milik teman kami, yang menjemput kami di desa Torean, tampak di depan mata. Terparkir di depan rumah penduduk desa yang tampak sunyi. Hanya terpancar lampu-lampu teras seadanya.

Rasa sakit di pundak akibat membawa beban seolah hilang seketika saat tas carrier kami diturunkan dan disusun rapi di atas mobil. Mobil pun bergerak menembus kegelapan desa dan kebun-kebun warga. Terus bergerak meninggalkan sosok ayu Gunung Rinjani dan langitnya yang hitam cerah penuh bintang. Walau semakin lama semakin kecil dan akhirnya menghilang, kisah gunung yang konon adalah singgasana Dewi Anjani ini tersimpan di benak masing-masing kami. Suka cita selanjutnya kami luapkan di sebuah warung makan nasi campur Jawa Timur di Selong, Lombok Timur. Jika kalian pernah naik gunung, saya yakin kalian sepakat makanan pertama selepas turun gunung adalah yang terenak.

Hari sudah hampir berganti saat kami tiba di markas SAR Lombok Timur (Lotim). Akhirnya kami bisa merebahkan badan dan meluruskan kaki juga. Malam itu, diisi dengan bersantai. Sebagian sibuk mencari cara kembali ke rumah, yang lain memilih istirahat dan tentu tak ketinggalan update media sosial. Saya sendiri gabung minum kopi dan merokok sambil berbincang dengan Bang Botol, anggota SAR Lotim yang menjamu kami. Membiarkan dulu kisah yang diceritakan Rinjani selama lima hari ke belakang mengendap dalam ingatan.

Ramai

Langit pukul 5 sore begitu cerah saat saya tiba di Desa Sembalun yang menjadi titik awal pendakian. Karena belum sempat registrasi dan loket sudah ditutup sejak pukul 4 sore, maka saya menginap di homestay yang memang banyak di sana. Mendaki secara illegal bukan ide yang baik. Resiko menjadi berlipat jika dilakukan. Tak apalah menunda semalam, hitung-hitung beradaptasi dengan hawa pegunungan. Homestay dan beberapa resort eksklusif mudah ditemui di sana. Tentu hal itu berbanding lurus dengan potensi wisata Gunung Rinjani yang “manis”. Saat itu, sedang bersiap-siap rombongan pendaki asal Malaysia yang berjumlah sekitar 40 orang. Belum lagi di sepanjang perjalanan mendaki, wisatawan asing jumlahnya nyaris sama dengan wisatawan lokal.

Dengan predikat Taman Nasional dan salah satu dari Seven Summit Indonesia (urutan ketiga setelah Jayawijaya dan Kerinci) dengan ketinggain 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl), Rinjani adalah salah satu primadona wisata di Pulau Lombok. Ditambah lagi memang geliat pariwisata Lombok gencar dipromosikan untuk membagi wisatawan dari Pulau Bali yang berjarak sekitar 4-5 jam menggunakan jalur darat dan laut.

Sebagai gunung wisata yang menjual, desa yang menjadi titik awal dan akhir pendakian mau tak mau wajib mengakomodir segala fasilitas dan kebutuhan pendakian jika ingin ikut menikmati pasar pariwisata yang gemuk. Desa Sembalun atau lebih tepatnya Desa Sembalun Lawang sebagai jalur favorit memulai pendakian,juga  menunjukan geliat itu. Ada homestay, penginapan mewah, pusat informasi pendakian, warung makan, pasar, penyewaan alat-alat pendakian, penyedia paket wisata pendakian dan jasa porter serta guide tersedia di sana. Dengan akses telekomunikasi yang baik, mereka tidak hanya dapat dikontak melalui telpon, namun ada juga yang memiliki website sendiri. Contohnya tempat kami menginap yang beralamat di theluxuryrinjani.com. Letaknya persis di depan gerbang pendakian jalur Sembalun. Selain menyediakan penginapan, mereka juga menyediakan paket wisata Rinjani dan Lombok serta penyewaan porter. Porter sangat laris di sana, fasilitas yang diberikan tidak hanya membawa barang hingga maksimal 30 kg, namun termasuk memasak makanan enak, mendirikan tenda, mengambil air, dan menjaga barang saat summit. Baik dari pencuri maupun kera yang sering “nakal” dan banyak terdapat di Rinjani.

Namun sisi lain ramainya tempat wisata terkadang merusak setidaknya alam dan lingkungan masyarakatnya. Bukan cerita baru jika gunung sudah menjadi seperti tempat sampah raksasa, begitu juga dengan gunung Rinjani. Bulan Juli 2015 lalu, masih ingat kita pada sekelompok bule yang membawa nama green-books.org melakukan aksi bersih-bersih Rinjani. Karung-karung hasil sweeping-nya cukup banyak. Namun setelah mendaki, saya yakin itu hanya sebagian kecil. Kesadaran kurang dan budaya buang sampah sembarangan terbawa sampai ke gunung. Tentu tidak hanya pendaki yang merupakan pendatang, namun porter yang notabene adalah warga native pun menjadi penyumbang sampah berserakan yang tak sedikit. Sampah makanan dan logistik sisa jadi hiasan di sudut-sudut camping area dan jalur-jalur pendakian.

Sampah sisa masak memasak di Plawangan Sembalun (Dok. Pribadi)

High season seperti libur panjang atau long weekend, menyebabkan pendaki meningkat jumlahnya. Ramainya pendaki tersebut membuat sepanjang perjalanan akan berpapasan dengan pendaki dari berbagai daerah. Mayoritas memang berasal dari pulau Jawa. Seru memang, bisa berbagi cerita dan keluh kesah bersama saat berpapasan dengan pendaki lain. Ada yang tampak happy, tak sedikit pula yang tampak putus asa. Beberapa kadang memberi info jalur dan jarak dengan akurasi berbeda-beda. Dampak dari keramaian tentu saja tenda. Ya, pos-pos tempat bermalam akan penuh dengan deretan tenda-tenda warna-warni berbagai merk. Membentuk seperti perkampungan dadakan di atas gunung.

Cerita yang juga menarik yaitu porter yang sudah menjadi profesi warga Desa Sembalun. Testimoni bernada “takjub” diberikan pada para porter luar biasa ini. Mereka menggunakan pikulan untuk membawa barang-barang seperti tenda, air, makanan, hingga gas 3kg. Tanpa peralatan pendakian sama sekali, bahkan hanya menggunakan sandal jepit. Mereka juga mendapat jatah istirahat yang tidak lama selama mendaki, karena mereka harus tiba dan mempersiapkan tenda serta makanan lezat lebih dulu sebelum “tamunya” tiba di lokasi camping. Tamu datang, makanan dan tenda nyaman harus sudah siap. Harga untuk pelayanan itu berkisar antara 200-250 ribu per malam.

Namun sayang, ada beberapa jasa penyedia porter yang nakal. Lagi-lagi sisi lain dari ramainya pengunjung. Harga kadang bermain di sini. Di satu sisi ada cerita seorang porter yang memberikan pelayanan terbaik hingga membawa kambing sampai ke atas karena tip yang besar diberikan oleh tamu asingnya. Lainnya, saya mendengar cerita jasa penyedia porter tiba-tiba tidak bisa di kontak oleh pendaki pada hari sebelum pendakian. Padalah mereka sudah deal soal harga dan lainnya. Sama sekali hilang kontak hingga akhirnya pendaki tersebut batal memakai porter. Banyak memang tempat wisata yang ramai oleh warga asing menjadikan warga sekitar lebih mengutamakan orang asing daripada orang lokal maupun Indonesia. Sederhana alasannya, orang asing lebih royal dalam hal uang, sedangkan orang kita sendiri akan tawar menawar saat akan memakai jasanya. Kami sendiri batal menggunakan porter karena kehabisan, coba kontak sana-sini dan mencoba tawar menawar akhirnya tidak kami lanjutkan karena ada yang mematok harga 2 juta untuk satu orang porter untuk 4 hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline