[caption caption="Kera ekor panjang. Selepas bermain, si anak makan pisang ditemani si ayah. (Dok. Pribadi)"][/caption]
Sedang hangat di halaman depan segala jenis media, dari cetak hingga sosial (media), adalah soal penggusuran yang diperhalus menjadi relokasi yang terjadi di ibu kota. Kali ini di kawasan Kalijodo yang alasannya merupakan jalur hijau. Dengan relokasi ini, pemprov DKI bermaksud mengembalikan fungsinya asli kawasan tersebut.
Ah, apapun alasannya berita relokasi sudah bukan hal aneh lagi di negeri ini. Maklum negara berkembang. Keseimbangan tata ruang pun masih harus dikembangkan asalkan benar-benar berimbang tanpa korban dan kepentingan. Tapi sudahlah, sejenak tinggalkan Jakarta bersama bangunan dan bangunin yang melukis ironi. Lebih baik kita mencari harmoni di salah satu tempat di Pulau Bali. Tepatnya di Ubud.
Di Bali, umum memang melihat pura, sesaji, tari-tarian, pertunjukan musik, hingga bule-bule wanita berpakaian minim atau yang lelaki yang bertelanjang dada. Tak terkecuali di Ubud, daerah yang terkenal sebagai salah satu episentrum seni dan budaya Bali. Seni, budaya, dan agama itulah yang bersama-sama membentuk harmoni di sana. Atas dasar itu pula lah tata ruang kota dibuat. Salah satunya Secred Monkey Forest Centaury atau Mandala Suci Wenara Wana yang lebih dikenal dengan Monkey Forest.
Monkey Forest menjadi paru-paru kota sekaligus tempat wisata yang selalu masuk rekomendasi wisata untuk kawasan Ubud. Sebuah hutan rimbun di tengah kota dengan kera-kera yang tinggal disana, karya seni dari bahan alami. Letaknya berada di Jalan Monkey Forest. Salah satu jalan utama di Ubud dan tak jauh dari pusat keramaian di sana yaitu Pasar Umum Ubud.
[caption caption="Pura Dalem Agung tempat memuja Hyang WIdhi dalam Dewa Siwa. Letaknya di bagian tengah kawasan Monkey Forest. (Dok. Pribadi)"]
[/caption]
Monkey forest adalah sebuah ruang hijau kota yang dikelola dengan baik menjadi tempat wisata. Pangsa pasarnya tentu saja termasuk wisatawan asing. Selain tempat wisata biasa, dengan 115 spesies pohon yang berbeda dan dengan 600an populasi kera berjenis kera ekor panjang (Macaca fascicularis), Monkey Forest menjadi tempat penelitian baik tumbuhannya maupun perilaku kera yang memang membentuk koloni.
Pohon-pohon tinggi dengan beberapa akar gantung, udara yang bersih seolah tanpa muatan racun, dan jalan yang sedikit berlumut menambah kesan sejuk tempat ini. Di tengah hiruk pikuk perdagangan karya seni Ubud, boleh lah sejenak mencari ketenangan dan harmoni di sini. Bersantai di surganya oksigen sambil melihat kera-kera berlarian atau berkumpul seperti sedang bergosip.
Spiritual
Kehidupan spiritual orang-orang Bali memang menyeluruh di setiap sendi kehidupan. Di setiap sudut kotanya yang wangi akan dupa, pura dan segala pernak-pernik peribadatan berdiri dengan filosofi-filosofi simbolik. Begitu pula Monkey Forest ini. Tri Hita Karana adalah salah satu filosofi Hindu yang berarti “Tiga cara mencapai kesejahteraan lahir dan batin”. Inti untuk mencapai itu adalah hubungan harmoni manusia. Baik pada Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar. Filosofi itulah konsep yang mendasari kawasan ini.
Tak heran jika Monkey Forest juga menjadi tempat tempat ibadah dengan 3 Pura di dalamnya. Pura Dalem Agung, tempat pemujaan Hyang Widhi dalam Dewa Siwa, Pura Beji untuk Dewi Gangga, dan Pura Prajapati. Terbayang khusyuknya beribadah di tengah hutan kota yang yang asri dan damai. Namun, sayang sekali, di Bali orang beribadah juga menjadi objek foto oleh para wisatawan. Sebuah kuburan juga ada di sana. Kabarnya digunakan sebagai “ruang tunggu“ mayat sebelum dilakukan upacara ngaben setiap 5 tahun sekali.