Lihat ke Halaman Asli

Pradhany Widityan

TERVERIFIKASI

Full Time IT Worker

Senja dan Fajar di Ujung Timur Jawa

Diperbarui: 23 Desember 2015   22:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Savana Bekol (Dok. Pribadi)"][/caption]Kereta saya baru saja bertolak dari stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Kereta pertama dari tiga kereta yang akan saya tumpangi menuju kota paling timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Kota yang menurut legenda lahir dari penyesalan seorang Raja bernama Raja Banterang. Sang Raja yang menuduh istrinya berbuat salah hingga kemudian membunuh istrinya. Sebelum mati, istrinya berujar bahwa jika air tempatnya ditenggelamkan menjadi wangi, itu artinya dia tidak bersalah. Benar saja, air sungai menjadi wangi. Air wangi dalam bahasa Jawa adalah banyu wangi.

Kereta yang saya tumpangi ini menuju ke Semarang. Rehat sejenak sebelum dilanjutkan menuju Surabaya. Stasiun Pasar Turi. Pertama kali saya menginjakkan kaki di ibu kota Jawa Timur ini. Nuansa baru memasuki otak saya. Sambil menunggu kereta menuju Banyuwangi, kantor pengurus Tugu Pahlawan menjadi tempat saya melepas lelah. Hingga tiba jam 22.00 saya terlelap di kereta menuju Banyuwangi. Lelah.

Stasiun Karangasem Banyuwangi. Matahari belum juga terbit, angin masih genit menggigit, ayam jantan masih mengumpulkan nyawa untuk berkokok. Stasiun itu terasa suwung walaupun banyak penjemput dan penjaja angkutan saat kereta saya tiba. Namun, kehangatan sambutan kota ini mulai terasa saat Mas Rahmat Mayhesa, pengelola Rumah Singgah Banyuwangi yang letaknya tak jauh dari pintu masuk stasiun, mempersilakan saya masuk ke salah satu kamar untuk beristirahat. Rumah singgah yang cukup terkenal di media sosial di kalangan backpacker ini menjadi pintu gerbang bagi para pejalan yang menuju Banyuwangi.

[caption caption="Kawah Ijen, Pesona Banyuwangi (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Keakraban, kesederhanaan, ketulusan, dan keceriaan tumpah ruah di teras rumah sederhana tersebut keesokan harinya. Mas Rahmat, begitu biasanya dia dikenal, sangat welcome pada para pejalan. Tak ada sungkan, juga tak terlihat seperti pengusaha homestay, karena memang Rumah Singgah ini gratis. Dia menjadi teman dan pemandu bagi siapapun yang ingin menikmati kotanya. Kita bisa berbincang, merokok, minum kopi hingga begadang sambil bertukar cerita klenik bersama.

Rumah singgah ini memang disediakan atas dasar sukarela bagi pejalan pencari murah. Namun, dengan jaringannya, Mas Rahmat juga menyediakan guide lokal terutama untuk para wisatawan mancanegara. Jangan salah, ada rombongan bule Prancis yang singgah di rumah itu juga. Tak perlu menunggu pemerintah memajukan wisata, Mas Rahmat berhasil menunjukan konsistensinya memajukan kotanya dengan caranya sendiri.

Senja

Dengan motor sewaan, saya menyusuri sudut kota Banyuwangi. Mencoba kulinernya, Nasi Tempong yang super murah dan pedas. Dan merekam suasana kota yang asri dan tenang. Tujuan saya adalah Taman Nasional Baluran (Baluran). Karena waktu yang paling tepat adalah sore hari, maka selepas tengah hari saya baru menuju kesana. Menunggu senja di Little Africa in Java ini.

Teriknya kawasan pinggir laut Banyuwangi mulai padam. Matahari yang bersinar lebih lama tahun ini mulai condong. Saya tiba di pintu masuk Baluran. Masih ada 20 km perjalanan lagi, menyusuri jalanan rusak, menuju savanna bekol. Ikonnya Baluran.

Saat itu pertengahan Oktober, pohon-pohon tampak kering di sepanjang jalan. Rawan sekali terbakar. Rantingnya rapuh dan kering, sesekali patah tertiup angin kemarau. Kesabaran dan kehati-hatian berkendara akhirnya membawa saya tiba di hamparan tanah lapang luas dan pecah-pecah.

[caption caption="Banteng Jawa sedang Berendam (Dok. Pribadi)"]

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline