Lihat ke Halaman Asli

Mengayuh Mimpi #2

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


“Ayo At. Sudah tidak ada yang tertinggal?”, Mama keluar rumah dengan sedikit berlari. “Sudah Ma.” Aku mengambil posisi disebelah kiri jok. Kaki kiriku kuletakkan diatas pedal, menahan becak agar tidak terjungkal saat Mama naik.
Dia ibuku. Seorang wanita hebat yang benar-benar menginspirasi setiap hari. Aku sebut dia Mama. Tapi terkadang juga aku panggil Mamake. Badannya bisa dibilang gemuk. Tapi berat badannya tidak mewakili gemuk badannya. Padahal Mama tidak banyak makan, tetapi tetap saja badannya gemuk.
Aku dorong becak tanpa nama ke arah timur, setelah beberapa langkah, HAP! Aku naiki becak ini dan mulai mengayuhnya. Beberapa polisi tidur telah terlewati. Kini aku belokkan becak tanpa nama ini ke arah kiri. Menuju sebuah jalan yang memiliki banyak persimpangan.
Persimpangan pertama. Belok ke kanan akan membawa kita ke Kampung Sri Rahayu. Sebuah kampung yang cukup dikenal karena keanekaragaman dan latar belakang penghuninya. Becak tanpa nama tetap berjalan lurus menuju arah Perum DAMRI.
Persimpangan kedua. Tepat di sudut persimpangan ada sebuah pondok pesantren kecil. Atau lebih tepatnya pondok mengaji. Ada tulisan yang cukup besar di salah satu dinding. Anshor. Becak tanpa nama tetap terus lurus ke depan. Melewati sebuah tempat pembuangan sampah yang sembarangan. Karena jelas, pembuangan sampah ini dipaksakan di sebuah kebun pisang yang berbatasan dengan beberapa petak sawah. Pedal becak tanpa nama masih aku kayuh. Sebuah jembatan kecil kulewati. Tak jauh berbeda dengan kebun pisang tadi, sungai ini dipaksa menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat sekitar. Beberapa sampah rumah tangga mengapung dan berjalan pelan di sungai yang fungsi awalnya sebagai pengairan sawah.
Persimpangan ketiga. Jalan ini berdampingan dengan sungai kecil di sebelah kiri. Beberapa rumah memiliki jembatan sebagai akses menyeberang. Sebuah jembatan besar menandai sebuah persimpangan. Jika kita belok kiri dan menyeberang jembatan ini, kita bisa langsung menuju ke sebuah masjid besar berlantai dua yang satu-satunya di kecamatan ini. Dan diseberang jalan dari masjid dua lantai ini, sebuah kantor SAMSAT berdiri cukup mewah.
Becak tanpa nama tetap berjalan lurus melewati beberapa polisi tidur kecil yang cukup banyak. Polisi tidur kecil ini dibuat agar kendaraan yang lewat mengurangi kecepatannya. Banyak anak-anak. Sebuah tanda lalulintas dibuat secara tradisional dan dipasang di tepi jalan.
Persimpangan keempat. Ada tiga pilihan, belok kiri, lurus atau belok kanan. Jika kita belok kiri, kita akan masuk ke pemukiman warga yang padat penduduk. Ruas jalannya tak lebih dari dua meter. Jika lurus, kita akan mengikuti jalan yang selama dua tahun belakangan ini dilewati becak tanpa nama. Atau kita boleh belok kanan, dimana kita bisa masuk ke komplek DAMRI, atau ke penginapan BLUE INN. Juga salah satu akses masuk ke Kampung Sri Rahayu. Kita ambil lurus.
Persimpangan kelima. Kita telah tiba di ujung jalan. Aku turun dari becak. Sejenak berhenti menunggu dua mobil dan tiga sepeda motor lewat. Aku menyeberangkan becak tanpa nama dengan dorongan. Di separuh jalan nasional ini, aku hentikan doronganku. Kini aku menunggu 2 sepeda motor, kemudian aku dorong kembali becak tanpa nama ini. Kupercepat doronganku, kemudian, HAP! Aku naiki becak tanpa nama ini dan langsung kubelokkan ke arah timur.

http://pradesaemka.blogspot.com/2013/07/mengayuh-mimpi-2.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline