Dengan kemajuan teknologi saat ini, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, muncul perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi. Hal ini yang kemudian memunculkan istilah ekonomi digital. Ekonomi digital ini menyebar luas di seluruh dunia dan meliputi berbagai aspek seperti perdagangan (e-commerce atau perdagangan berbasis elektronik), pendidikan (kursus daring), jejaring sosial, transportasi (kendaraan otonom), hingga kesehatan (rekam medis elektronik) [OECD, 2015].
Di Indonesia sendiri, ekonomi digital memiliki potensi besar dan dianggap sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pada tahun 2017, "Peraturan Presiden No. 74 tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik" ( 2017-2019) untuk mempercepat pengembangan dan mengoptimalkan potensi ekonomi digital
Dalam perkembangan teknologi dan tatanan ekonomi digital, muncul isu-isu terkait pendekatan pemajakan konvensional tidak dapat diterapkan sepenuhnya untuk model ekonomi ini. Penghitungan pajak pada dasarnya membutuhkan dua variabel utama yaitu subjek pajak dan objek pajak. Penentuan subyek pajak biasanya didasarkan pada keberadaan aktual yang tidak diperlukan dalam praktik ekonomi digital. Pada saat yang sama, tantangan ketika menentukan objek pajak adalah menentukan kategori pendapatan atau transaksi sebagai dasar pajak.
Subjek pajak menjadi bias misalnya dalam kasus penjualan daring lintas negara, tanpa adanya kehadiran toko maupun perusahaan fisik di negara tujuan. Sementara itu, ekonomi digital identik dengan intelectual property dan produk digital, yang pada dasarnya tidak memiliki wujud fisik. Penentuan penghasilan dari pemanfaatan maupun pengalihan produk tanpa wujud fisik ini menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas pajak, termasuk penentuan hak pemajakan atas penghasilan ini. Salah satu negara yang akan menerapkan pajak penghasilan atas intelectual iroperty maupun paten bagi perusahaan teknologi adalah Inggris, diperkirakan peraturan terkait akan diterbitkan tahun 2019.
Contoh kasus perpajakan atas aktivitas ekonomi digital yang cukup dikenal adalah skema Double Irish and Dutch Sandwich karena skema ini paling banyak digunakan khususnya oleh perusahaan multinasional yang berkedudukan di Amerika Serikat. Skema ini memanfaatkan aturan perpajakan di Irlandia dan tax treaty yang berlaku untuk mengalihkan penghasilan berupa royalti dari Amerika Serikat ke subsidiary yang berada di Irlandia tetapi dikendalikan oleh manager yang berlokasi di yuridiksi dengan tarif pajak sangat rendah atau memiliki sistem keuangan yang tertutup (tax haven countries) [IMF, 2013]. Skema ini akan menghasilkan nilai pajak yang lebih rendah dibandingkan dengan pembayaran pajak di Amerika Serikat dan telah digunakan oleh raksasa teknologi seperti Apple sejak akhir 1980. Sementara di Indonesia, kasus Google menjadi hal yang menarik, Google Asia Pasific Pte Ltd yang berdomisili di Singapura, belum mempunyai bentuk usaha tetap (permanent establishment) di Indonesia. Sehingga penghasilan atas kegiatan usaha yang dihasilkan dari Indonesia mengalir ke Singapura.
Isu ekonomi digital khususnya dalam konteks perpajakan menjadi perhatian khusus pemerintah seluruh dunia yang kemudian mendorong inisiatif lembaga kerjasama ekonomi OECD membuat suatu rancangan aksi yang dapat diimplementasikan secara luas. Inisiasi ini dimulai pada tahun 2013 dengan topik terkait pengikisan laba, yaitu OECD Base Erosion Profit Shifitng (BEPS) Framework. Laporan akhir BEPS Framework telah diterbitkan pada tahun 2015 yang memuat lima belas (15) rencana aksi. Adapun rencana aksi terkait ekonomi digital menjadi rencana aksi pertama, menunjukkan pentingnya isu ekonomi digital dalam perspektif perpajakan. Secara singkat, OECD Action Plan satu yang berjudul “Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy” menggambarkan tantangan-tantangan perpajakan yang muncul sebagai dampak semakin berkembangnya ekonomi digital. Ekonomi digital sendiri tidak memunculkan adanya tantangan perpajakan yang benar-benar baru, tetapi lebih memperburuk tantangan perpajakan yang telah ada selama ini khususnya terkait upaya-upaya pengikisan basis pajak melalui pergeseran laba lintas yuridiksi. Dalam Action Plan satu ini OECD memberikan beberapa rekomendasi umum dalam menghadapi tantangan pemajakan ekonomi digital, misalnya perluasan definisi bentuk usaha tetap (permanent establishment).
BEPS Framework telah menjadi pedoman dalam menyusun peraturan dan kebijakan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam rilis OECD pada bulan Oktober 2017 tentang komentar atas Tax Challenges of Digitalization, khususnya pada bagian upaya negara dalam menargetkan kegiatan ekonomi digital, Indonesia disebutkan memiliki rencana untuk memajaki transaksi perdagangan berbasis elektronik melalui metode pemotongan pajak (withholding tax). Namun sampai sekarang belum terdapat aturan perpajakan khusus yang mengatur tentang aktivitas ekonomi digital di Indonesia (maupun terkait perdagangan berbasis elektronik secara khusus).
1) Yurisdiksi Pemajakan
Terdapat empat teori justifikasi legal hak pemajakan suatu negara, yaitu the realistic or empiricial theory, the ethical or retributive theory, the contractual theory, dan the teory of sovereignty.
a) Teori Realistis atau Empiris, menyatakan bahwa yurisdiksi setara dengan kewenangan fisik (physical power), yaitu kewenangan untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap orang dan harta yang berada dalam wilayah kekuasaan negara dan harta yang berada dalam wilayah kekuasaan negara yang bersangkutan. Namun secara empiris, yurisdiksi pemajakan bukanlah semata karena kewenangan fisik, tetapi berdasarkan ketentuan perundangan dan meluas sampai kepada orang yang secara fisik berada di luar kewenangan administrasi pengenaan pajak.
b) Teori Etis atau Retributif menyatakan bahwa pemajakan merupakan kontraprestasi (return) atas manfaat dan kemudahan yang diperoleh dari negara. Perusahaan merupakan bagian dari komunitas ekonomi yang harus menyampaikan kontribusi proporsional. Kontribusi tersebut lazimnya disebut pajak. Teori ini pada dasarnya lebih menekankan kepada manfaat ekonomis (economic allegiance) sebagai yurisdiksi pemajakan.