Lihat ke Halaman Asli

Pilkada Tak Langsung, Bahaya Laten Demokrasi Primitif

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Panja DPR RI yang sedang berlangsung menjadi ajang adu kekuatan antara partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih vs Kubu Jokowi.

Pembahasan masih berjalan alot terkait pemilihan gubernur dan bupati/wali kota secara langsung atau tidak langsung (dipilih oleh DPRD).

Sikap fraksi yang menyetujui pilkada tak langsung (Gerindra, Golkar, PAN, PPP, Demokrat ) justru menguatkan kesan koalisi merah putih masih menyimpan dendam karena kalah dalam pilpres 2014 dibanding argumentasi yang diajukan, bahwa pilkada tak langsung dapat menghemat biaya, serta meminimalisir bentrok pendukung cagub/cabub.

Lebih jauh, masyarakat bahkan berpikir partai yang menyetujui pilkada tak langsung hanyalah ekspresi frustasi dari politikus busuk yang kalah dalam pemilu, karena dalam pikirannya, semua tindakan dikalkulasi dengan uang; untung-rugi.

Demokrasi menurut politisi busuk, adalah suara yang banyak itulah pemenangnya. Meskipun Colombus penemu benua Amerika bilang, bumi itu bulat, tapi jika separo penduduk + 1 orang di dunia ini mengatakan bumi itu datar, maka klaim penduduk itulah yang diakui. Demokrasi demikian tak butuh kebenaran, meski dengan landasan ilmu pengetahuan.

Politisi busuk juga punya argumentasi, pilkada tak langsung dapat menghemat duit negara. Tak perlu bikin kotak suara ribuan dan surat suara jutaan lembar. Cukup bikin kotak suara dua - tiga biji sesuai peserta pemilu dan ditaruh diruang gedung DPRD.

Politisi busuk punya alasan, pilkada tak langsung dapat meminimalisir bentrokan antar pendukung. Bahkan mereka yang kalah tidak marah dan melakukan kekacauan. Atau melaporkan ke MK.

Itulah kampanye yang dilakukan oleh anggota partai pendukung pilkada tak langsung. Dan argument demikian terus dijual siang-malam di koran dan televise. Dan jika dicermati, terkesan argument yang masuk akal.

Dan faktanya memang demikian. Negara ini perlu mengeluarkan ratusan milyar untuk biaya pilkada. Sementara, untuk menjadi cagub-cabub, dibutuhkan modal minimal 2-10 milyar dan belum tentu cagup/cabub tersebut menang dalam pemilihan.

Fakta selanjutnya, karena aturan demokrasi itu adalah separo + 1 pemilih yang menang, maka artis bisa jadi bupati. Karena yang banyak yang menang maka keturunan cina bisa jadi gubernur. Karena memperoleh suara 53 koma sekian persen, maka rakyat jelata bisa jadi presiden di republic ini. Inilah demokrasi menurut minset politisi busuk.

Definisi demokrasi seperti diuraikan diatas memang terlihat logis. Cuma celakanya pemahaman demikian dianut sebagian besar politisi negeri ini. Padahal mereka itu lupa, bahwa pemahaman demokrasi yang banyak yang menang hanyalah terjadi di jaman primitive yang tak kenal peradaban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline