Hari ini, 12 Maret 2008, Institut Garuda Nusantara (IGN) mengadakan simposium nasional. Hadir para guru besar, rektor, lektor dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Acara yang berlangsung di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan itu, dimulai pukul 10.00 hingga pukul 13.00
Saya kebagian menyampaikan key-note speech peluncuran Buku bejudul Membangun Kembali Indonesia Raya, sub judul Haluan Baru Menuju Kemakmuran, saya tulis dan diterbitkan IGN. Buku ini berisi pokok pikiran yang coba saya tuangkan, plus sumbangan pemikiran berbagai pihak, masukan masyarakat umum yang tak dapat saya sebutkan satu persatu.
Indonesia adalah negara agraris tropis terbesar kedua setelah Brazil. Dari 27% luas zona tropis dunia Indonesia memiliki 11 % wilayah tropis yang dapat ditanami dan dibudidayakan setiap tahun. Total lahan yang bisa ditanami 119 juta hektar (BPS, 2008).Artinya jika ditanami dua kali saja setahun, potensi budidaya lahan 238 juta hektar. Ini antara lain yang saya angkat di buku ini, sebagai landasan untuk Indonesia seharusnya bangkit, seharusnya sejahtera rakyatnya.
Sejak jaman penajajahan dulu, mulai damar, pinang, hingga jelutung adalah komoditi ekspor. Angka-angkanya masih tercatat hingga kini. Hingga hari ini komoditi hasil alam, termasuk mineral masih belum diolah bernilai tambah, yang bisa membuka lapagan kerja besar dan mensejahterakan. Selama ini sekadar menggolontor ke pasar, belum diolah.
Buku ini tidak ingin menyalahkan pemerintahan sekarang ataupun masa lalu.
Buku ini ingin menggugah kesadaran, bahwa sejarah tanpa kita sadari telah membuat kita sebagai bangsa divonis untuk melarat-rakyat, menjual segenap hasil alam, bahan mentah mengalir murah ke belahan dunia. Kenyataan itu diciptakan seakan takdir.
Akibatnya terjadilah apa yang disebut net out flow of natural wealth, bocornya kekayan nasional, menguap ke luar negeri, mensejahterakan orang lain.
Fakta itu, sekadar mengambil contoh, bisa dilihat dari neraca ekspor dan impor sejak 1997 hingga 2008 lalu. Di dalam neraca kita mendapatkan surplus rata-rata US $ 25 miliar setahun. Itu artinya jika ditotal, sudah ada akumulasi US $ 300 miliar. Tetapi nyatanya di cadangan devisa kita hari ini di kisaran US $ 50 miliar saja. Itu artinya sebesar Rp 2.500 triliun menguap, telah terjadi yang namanya bocor kekayaan nasional Indonesia. Atau nett out flow of natural wealth kita, ludes Rp 2.500 triliun.
Kita telah mensejahterakan bangsa lain dari hasil alam Indonesia. Lebih celaka lagi 230 juta penduduk, sebagai aset, juga kita biarkan sebagai konsumen pasar barang dari negeri lain. Kita seakan dijebak ke dalam vonis: miskin seumur-umur.
Indikasi itu, tanpa kita sadari kian nyata adanya. Fakta, pertumbuhan ekonomi yang disosialisasikan sudah bagus di hanya 7% setahun. Padahal jika logika ini kita pertahankan, pada ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke 100 di 2045, pendapatan perkapita selama 35 tahun hanya sebesar US $ 26.656, atau setara dengan pendapatan perkapita Korea Selatan hari ini. Bayangkan pula Korea Selatan dalam 35 tahun mendatang!
Hanya dengan pertumbuhan ekonomi dua digitlah, 10 %saja, kontinyu 35 tahun maka kita akan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi perkapita US $ 60.000-an, sebuah angka pendapatan perkapita tertinggi di dunia tahun 2008.
Bayangkan kalau kita tumbuh 7%, apalagi di bawahnya? Bisa jadi nanti keadaan kita di ulang tahun ke-100 kemerdekaan, hanya setara dengan Rwanda.
Karena itulah, kita harus ke luar dari vonis seakan takdir sebagai bangsa miskin. Kita harus menumbuhkan ekonomi dua digit. Alam dan sumber mineral yang siap diolah, menjadi modal utama tersedia melimpah.
Di hadapan pada profesor, lektor, rektor dan para ahli di forum IGN hari ini, saya menggugah, jika memang ekonomi kita selama ini dijalankan di rel yang salah, katakanlah salah.
Saya heran, belakangan di Universitas Indonesia, kini jurusan Ekonomi Pembangunan yang pernah diajarkan ayah saya sudah tak ada lagi, diganti dengan ekonomi analisa bursa saham. Sebuah mata kuliah ekonomi balon, judi.
Di mata saya tingkat keilmuan tertinggi adalah level Profesor Doktor. Ia sebuah gelar akedemik tertinggi, tempat nurani dan integritas tertinggi bisa bicara: jika kita mau ke Bandung, lalu jalannya lewat Anyer, adalah jalan yang keliru. Lebih celaka setelah sampai di Anyer, masih ada yang ngotot mengatakan kita sudah sampai di Bandung. Sudah saatnya orang-orang yang beriontegritas berani mengatakan, bahwa jalan itu keblinger.
Jika sebuah jalan yang kita tempuh selama ini memang salah, kepada para ilmuwan, profesor dan doktor yang banyak hadir dalam forum IGN hari ini, saya menggugah untuk kembali meluruskan jalan, menumbuhkan ekonomi kerakyatan ke depan.
Karenanya, saya mengajak semua pihak untuk membaca buku Membangun Indonesia Raya, memberikan masukan, mengkritisi, sehingga ke depan buku itu dapat menjadi suatu kerangka pikir, premis guna memajukan Indonesia.
Di dalamnya saya jabarkan 8 pokok program: membangun kedaulatan pangan nasional, membangun kembali kedaulatan energi nasional, mengembangkan industri nasional unggul dan bernilai tambah, BUMN sebagai agen dan motor penggerak pembangunan, ekonomi kerakyatan berdasarkan nasionalisme berbasis sumber daya sosial bangsa, akselerasi pembangunan pedesaan, percepatan pembangunan infrastruktur dan membangun kembali kedaulatan pengelolaan sumber daya alam nasional.
Berdasarkan program itu, sudah sepantasnya, ibarat analogi bertolak menuju ke Bandung tadi jalan yang dilalui adalah tol Padalarang, bukan lagi lewat Anyer, Banten. Dan tidak pula terjadi lagi analogi tiba di Anyer, Banten, masih ngotot bilang sudah sampai di Bandung.
Sehingga bocornya kekayaan nasional, tidak terjadi lagi. Kita hapuskan kata net out flow of natural wealth, dari kitab uzur yang dipantekkan ke benak segenap bangsa sejak jaman penajajahan silam. Keluar dari vonis miskin seumur-umur melalui haluan baru pemimpin baru terobosan baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI