Lihat ke Halaman Asli

Ajakan Aik

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore begitu cerah. Sang mentari begitu ramah menyapa sebelum dia pulang ke peraduan. Sementara itu, siswa-siswi kelas lima SD Cahaya Hati baru saja selesai ekstrakurikuler pramuka. Mereka langsung jalan ke depan sekolah untuk mencari angkot dan jemputan.

“Aik…kamu dijemput atau naik angkot?” tanya Dila sambil menyamakan langkahnya di samping Aik dan menyeruput air yang tinggal beberapa tetes di botol minumnya.

“Aku dijemput papa.” jawab Aik datar.

Sedangkan Tyas yang biasa dijemput bapaknya harus naik angkot karena bapaknya harus lembur di kantor. Tyas berjalan persis di belakang Aik dan Dila, tetapi mereka acuh dengan keberadaan Tyas.

Aik dan Dila memang berteman akrab. Mereka anak yang cerdas. Dari kelas satu selalu masuk tiga besar. Aik memang cantik, baik, dan rajin. Sampai sekarang belum ada seorang pun yang menggesernya di peringkat pertama. Sedangkan Dila, dia juga cerdas tetapi tidak mau tersaingi dengan teman lain. Aik dan Dila adalah teman yang rumahnya paling dekat dengan Tyas. Setiap kali Tyas bermain dengan mereka, Dila merasa terganggu dan judes dengan Tyas.

“Aduh, aku belum dijemput,” kata Aik gelisah.

“Sabar, mungkin papamu masih di jalan, Aik,” kata Tyas sambil menenangkan.

“Asik…itu angkot datang!” teriak Dila setelah melihat angkot warna merah menampakkan moncongnya.

Mereka pun mendekat ke pinggir jalan dan siap-siap untuk menghentikan angkot. Teman-teman yang tadinya menunggu jemputan akhirnya berpindah haluan untuk naik angkot kecuali Aik yang masih ingin menunggu papanya.

“Terakhir…terakhir,” teriak pak sopir yang memberi tahu bahwa angkot yang dia kendarai adalah angkot terakhir.

“Dila…aku belum dijemput…!” teriak Aik sambil menarik tangan Dila yang sudah bergegas masuk angkot.

“Ini angkot terakhir, Ik. Kamu naik angkot saja,” jawab Dila.

“Aku mau menunggu papa,” jawab Aik sedikit kesal.

“Ya sudah kalau tidak mau naik angkot, tunggu saja papamu,” jawab Dila sedikit membentak sambil masuk di angkot yang penuh sesak.

“Aku temani, Aik.” Kata Tyas datar.

“Ih…sebel aku dengan Dila. Papa juga belum datang,” celetuk Aik sambil cemberut.

Menunggu dan menunggu, mereka hanya memerhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Mereka diam seribu bahasa dengan menyimpan kekhawatiran masing-masing.

“Ah…itu dia, papa...” teriak Aik dengan wajah ceria.

“Tyas, kamu bagaimana?” tanya Aik

“Aku dijemput bapak,” ucap Tyas berbohong karena tidak mungkin Tyas ikut mereka karena papanya naik motor dan membawa barang dalam dus.

“Ya sudah kalau begitu, aku duluan ya...” kata Aik sambil membonceng papanya.

Aik dan papanya sudah tidak kelihatan. Tyas tersadar bahwa tidak akan ada angkot dan bapaknya tidak menjemput. Satu-satunya cara, Tyas harus berjalan kaki yang berjarak 3 km di petang yang sudah menyapa. Kakinya melangkah cepat menyusuri jalan menuju rumah yang mulai sepi.

“Huf…sudah tahu aku belum pulang mengapa ibu tidak mencariku?” gerutu Tyas dalam hati sambil mempercepat langkah.

“Dek…rumahmu mana?” tiba-tiba ada orang yang bertanya.

Tyas menghentikan langkah dan menoleh ke sumber suara.

“Rumahku di Jalan Ratna, Bu.” Jawab Tyas sambil menarik nafas lega, yang mengira suara itu adalah suara hantu.

“Yuk, aku gonceng.” Ibu separu baya itu menawari Tyas untuk naik di sepeda onthelnya yang sudah kelihatan usang.

Mengingat hari sudah mulai gelap, Tyas pun mengiyakan tawarannya. Ibu itu namanya Bu Erna. Dia ternyata akan ke toko dekat rumah Tyas untuk membeli susu bayi.

***

“Ibu…, kenapa tidak menjemputku!” teriak Tyas kesal sambil mencari posisi ibunya yang ternyata sedang di kamar adiknya.

“Stststs…pelan-pelan,” kata Ibu menenangkan Tyas.

“Adikmu sakit, dari tadi demam tinggi dan mengigau. Baru saja dia tertidur. Maafkan Ibu ya, Nak. Sekarang, kamu mandi terus makan. Ibu sudah buatkan oseng kangkung dan tempe goreng kesukaanmu,” penjelasan ibu mengurung kemarahan Tyas. Rasa bersalah pun masuk dalam pikiran Tyas. Tanpa sepatah kata, Tyas menuju ke kamar meletakkan tas dan bergegas ke kamar mandi.

***

Ke esokan harinya, Bu Ningrum guru kelas lima akan membagikan hasil ulangan matematika. Jantung Tyas berdebar kecang menunggu namanya dipanggil. Memang Tyas kurang menguasai matematika. Dia sering ikut ulangan susulan atau remedial.

“Hari ini, Ibu akan membagikan hasil ulangan matematika. Nilai yang masih di bawah 65 harus mengulang,” kata Bu Ningrum cukup tegas.

“Aik Sari Rahayu,” Bu Ningrum mulai memanggil siswa satu per satu.

“Hore…aku dapat 100…” teriak Aik dengan gembira saat dia menerima hasil ulangan.

“Huf…aku cuma dapat 80…!” celoteh Dila dengan muka cemberut.

Hati Tyas tambah berdesir saat Bu Ningrum memanggil namanya. Langkahnya begitu berat untuk ke depan kelas.

“Belajar ya….” Pesan Bu Ningrum sambil memberikan lembaran kertas ulangan.

“Huf…remedial lagi…kenapa sih matematika selalu dapat jelek?” celetukku dalam hati. Dengan lunglai, Tyas pun kembali ke tempat duduknya.

“Tyas, belajar matematika bersama yuk. Nanti sore ke rumahku ya…” ajak Aik sambil menepuk bahu Tyas.

Tyas tidak menyangka, Aik akan mengajaknya belajar bersama. Rasa senang terpancar dari wajah Tyas. Dengan senyum dan gembira Tyas pun mengiyakan ajakan Aik.

Sore begitu cerah, secerah hati Tyas. Dia akan belajar matematika bersama Aik dan dia tidak tahu apakah Dila ikut atau tidak. Langkahnya ringan sekali menuju ke rumah Aik untuk memenuhi ajakan Aik. Ya…ajakan yang langka dan jarang sekali ditawarkan kepadanya.

(Bekasi, Maret 2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline