Lihat ke Halaman Asli

Atika Prabandari

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Keragaman Perspektif Sosiologi: Buah Pikiran Georg Simmel

Diperbarui: 25 September 2022   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1, Georg Simmel 1858-1918. disadur dari http://scihi.org/georg-simmel-sociologist/

       Georg Simmel lahir di Berlin pada 1 Maret 1858. Di usia ke-18nya, Simmel mulai banyak mempelajari bidang keilmuan seperti Sosiologi, Psikologi, Sejarah, Filsafat, dan Bahasa Italia di Universitas Berlin, sekitar tahun 1876. Simmel mendapat gelar doktoralnya dalam bidang Filsafat di tahun 1881 dan aktif sebagai pengajar di Universitas yang sama hingga 1914. Meski dari 1885 hingga awal 1900an jabatannya hanya sebatas Privatdozent, dengan gaya mengajar yang begitu populer membuat sebagian anggota masyarakat yang sudah berpendidikan kala itu turut mengikuti kelas yang dibuka Simmel. Karyanya yang berjudul The Philosophy of Money, sukses membawanya mendapat gelar kehormatan dari Universitas Berlin.

       Simmel merupakan salah satu sosiolog mikro yang memfokuskan kajiannya pada level interaksi antarindividu. Salah satu dari beragam pandangannya ialah ruang sosial. Dalam pandangannya, Simmel berusaha untuk menjelaskan aspek relasionis (keterhubungan) pada proses produksi dan reproduksi ruang sosial. Di mana ruang sosial merupakan media atau wadah tiap individu untuk berinteraksi. Misalnya kerja bakti dan kegiatan keagamaan seperti tahlilan, syukuran, dsb. Simmel menjelaskan bahwa ruang sosial yang dimiliki tiap kelompok akan menjadi ciri khas atau pembeda kelompok yang satu dengan yang lain. Simmel juga menambahkan, bahwa tiap individu di dalam kelompok tidak hanya berinteraksi dalam ruang sosial, tetapi juga melakukan proses asosiasi. Proses ini merupakan proses interaksi yang lebih mendalam sebab dalam proses ini mencakup bagaimana individu berbaur dan meleburkan diri sehingga dapat dianggap sebagai bagian dari kelompok atau masyarakat tersebut. Dalam melakukan proses asosiasi ini, Simmel menganggap bahwa kebudayaan dan uang menjadi dasarnya.

Gambar 2, Ilustrasi Prostitusi. disadur dari cuplikan Film Netflix berjudul Gangubai Kathiawadi

       Menurut Simmel, pada dasarnya seorang individu tidak akan melakukan sebuah tindakan yang tidak mendarah daging di kelompoknya. Misalnya, seorang yang tinggal dalam sebuah kelompok agamais tentu tidak akan melakukan tindakan yang dilarang oleh agamanya seperti mabuk-mabukan, karena ia akan dicap sebagai penyimpang dan akan mendapat sanksi dari kelompoknya. Simmel juga memaparkan bahwa uang sebagai dasar dalam proses asosiasi sebab dalam dinamika kehidupan masyarakat, uang telah menggeser kebudayaan. Contoh kasus, di tahun 90an masyarakat masih menganggap kebutuhan seksual hanya boleh dipenuhi melalui ikatan pernikahan, tetapi seiring berjalannya waktu, beberapa tahun belakang pemenuhan kebutuhan seksual tak lagi hanya diraih melalui ikatan tersebut, melainkan diperjualbelikan (prostitusi, fenomena FWB).

       Di sisi lain, Simmel menjelaskan bahwa tiap individu dapat berinteraksi dalam kerangka ruang dan waktu. Dalam penjelasannya, Simmel mengatakan bahwa tiap-tiap individu mampu berasosiasi di ruang atau tempat yang berbeda. Misalnya ketika seorang anak dididik oleh lingkup sekolah publik, kemudian dipindahkan ke sekolah dengan lingkup agama, maka mau tidak mau seorang anak ini harus beradaptasi dan berasosiasi agar mampu bertahan di lingkungan yang baru. Sementara dalam konteks waktu, kita ambil kasus empiris yang pernah terjadi saat saya SMA kemarin di mana guru saya yang berusia hampir setengah abad, masih belum mengetahui sepenuhnya penggunaan aplikasi daring seperti zoom meeting, google classroom, dan sebagiannya karena di zaman sebelumnya teknologi belum begitu berkembang, secara mendadak para guru yang sudah "berumur" ini diharuskan untuk menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut akibat pandemi. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, para guru harus menyesuaikan pembelajaran dan interaksi melalui aplikasi-aplikasi tersebut.

       Simmel merumuskan konsep masyarakat sebagai bagian yang melekat dalam totalitas, asosiasi, objek estetika, dan aktivitas pengalaman serta pengetahuan aktor-aktor di dalamnya. Di mana dalam konsep ini, aspek ruang dan waktu juga menjadi hal yang sentral dan konstitutif menurut Simmel. Sebab, kedua aspek ini mengakumulasikan pengalaman-pengalaman hidup sang aktor, sehingga nantinya sang aktor dapat memilih dan memilah tindakan mana sesuai dengan kondisi yang dihadapinya agar mampu bertahan. Lebih lanjut, Simmel membagikan lima aspek yang meliputi ruang. Pertama ada eksklusivitas, di mana Simmel memaparkan bahwa tiap ruang memiliki keunikan karena setiap ruang akan memproduksi dan mereproduksi ruang sosial yang berbeda, maka asosiasi yang diproses pun berbeda. 

Gambar 3, Meme mengenai pembagian unit dalam ruang sosial, disadur dari laman twitter.com

       Kedua, batasan-batasan ruang, yang nantinya akan menghasilkan pembagian unit dalam ruang tersebut. Kita ambil contoh empirik yang pernah saya alami di masa SMA, kala itu kelas saya yang berjumlah 36 orang (kelas sebagai ruang sosial), terbagi menjadi dua kubu besar di mana keduanya tidak memiliki persamaan pandangan, sehingga masing-masing kubu tersebut cenderung berinteraksi ketika terdapat kebutuhan yang mendesak saja. Pun, di salah satu kubu, sebut saja kubu S, interaksi di dalamnya terbagi lagi menjadi unit-unit kecil beranggotakan 3-5 orang yang hubungannya jauh lebih akrab. Pada akhirnya, Simmel mengatakan bahwa sebuah ruang sosial akan terpecah menjadi beberapa sub-subruang sesuai dengan keinginan sang aktor.

       Masih bicara mengenai aspek yang meliputi ruang, selanjutnya terdapat aspek yang ketiga, yaitu ketetapan dari bentuk-bentuk sosial yang ada di dalam ruang. Maksudnya ialah adanya aturan dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga ruang sosial tersebut tidak akan bersifat monoton (dinamis). Kemudian yang keempat, kedekatan dan jarak dengan ruang. Dalam konteks ini, Simmel mengemukakan bahwa tiap aktor akan berjarak dengan ruang sosialnya jika ia tidak mampu memahami apa yang terjadi dalam ruang tersebut dan sebaliknya, seorang aktor akan dekat dengan ruang sosialnya jika ia mampu menerima dan memahami apa yang terjadi dalam ruang tersebut. Contoh kecilnya, dalam sebuah kelas diskusi seseorang yang tidak memahami pokok bahasan diskusi akan merasa jauh (tidak mengerti) dengan apa yang sedang dibicarakan, sebaliknya seorang yang paham topik bahasan akan lebih menikmati jalannya diskusi karena jarak dengan ruangnya cenderung lebih kecil. Aspek yang terakhir adalah mobilitas ruang, maksudnya tiap ruang itu bersifat dinamis dan tidak stagnan seiring dengan aktor yang membangunnya.

Gambar 4. Ilustrasi kasus suap sebagai interaksi yang didasari pada relasi uang, disadur dari laman freepik.com

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline