Lihat ke Halaman Asli

Atika Prabandari

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Keragaman Perspektif Sosiologi: Buah Pikiran Marx dan Durkheim

Diperbarui: 12 September 2022   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gb.1 kegiatan buruh di pabrik, disadur dari https://cpssoft.com/blog/bisnis/apa-itu-revolusi-industri-dan-dampaknya-dalam-bisnis-anda/

       Ilmu Sosiologi merupakan suatu ilmu yang dinamis dan tidak pasti, sebab keilmuan ini terus berkembang mengikuti perubahan yang ada di masyarakat. Penjabaran atas seluruh fenomena yang terjadi di dalamnya pun tidak hanya didefinisikan oleh satu pemikiran seorang sosiolog. 

       Sebuah fenomena sosial dapat dikaji melalui beragam perspektif dan teori. Keberagaman perspektif atau teori ini merupakan produk berpikir para sosiolog yang hidup dalam keadaan masyarakat yang berbeda pula. Pembahasan kali ini akan berfokus pada pemikiran dua Sosiolog ternama yaitu Karl Marx dan Emile Durkheim.

  • Karl Marx

gb.2 foto Karl Marx, disadur dari www.google.com

       Karl Marx lahir di Tier, Jerman. Kemudian ketika berumur 19 tahun, Marx memilih berkuliah di jurusan hukum di kota Bonn. Selanjutnya, ia berpindah lagi ke kota Berlin. Di kota inilah, Marx mulai memfokuskan pandangannya pada dunia Filsafat. Dalam mendalami keilmuan ini, Marx berkiblat pada pemikiran Hegel. 

       Namun, seluruh pemikiran Hegel tidak begitu saja diterima oleh Marx. Pemikiran Hegel  yang menyatakan bahwa ide atau pemikiran manusialah yang akan menentukan keadaan masyarakat, ditentang oleh Karl Marx melalui Filsafat Materialismenya. Dalam pemikirannya ini, Marx mencoba menjabarkan bahwa keadaan masyarakatlah yang akan menentukan kesadaran mereka (yang kelak akan menghasilkan produk berupa ide atau pemikiran).

Pemikiran Marx ini bersandar pada apa yang Ia lihat semasa hidupnya (masa revolusi industri), di mana Ia melihat bahwa cara orang yang satu dengan yang lain memproduksi kebutuhan materialnya menentukan bagaimana mereka berhubungan satu sama lain, dengan institusi, dan bahkan dengan pemikiran yang lazim. 

Dengan begitu, Marx melihat bahwa sejarah manusia tidak lepas dari motif ekonomis, sebab tiap orang akan berhubungan satu sama lain atas dasar kegiatan pemenuhan kebutuhan material mereka. Dari gagasan tersebut, Marx menekankan bahwa masyarakat harus dipahami layaknya basis bangunan dan bangunan atas. 

Di mana basis bangunan yang terdiri atas tenaga kerja dan hubungan produksi, akan mempengaruhi bangunan atas yang berupa kesadaran sosial seperti ide, hukum, bahkan agama.

Masyarakat dalam pandangan Marx juga dikelompokkan berdasar cara mereka memproduksi kebutuhan materialnya, kelompok-kelompok tersebut ialah Borjuis dan Proletar. Kelas Borjuis ialah kumpulan orang yang memiliki alat-alat produksi, sehingga mereka mendapatkan kebutuhan materialnya dengan menyewakan alat-alat tersebut. 

Sementara kelas Proletar, ialah kumpulan orang yang tidak memiliki alat-alat produksi, sehingga untuk memenuhi kebutuhan materialnya, mereka harus menjual tenaga. Adanya ketimpangan dalam kepemilikan alat-alat produksi ini, kemudian membuat kelas Borjuis mengeksploitasi kelas Proletar dari sinilah kemudian lahir sistem masyarakat kapitalisme.

Sistem kapitalis ini banyak meninggalkan banyak ketidakadilan bagi kelas proletar, hingga puncaknya ialah lahirnya fenomena alienasi pekerja. Melalui sistem kapitalisme ini, pekerja menjadi teralienasi (terasing) pada hasil produksinya, sebab hak atas produk tersebut hanya dimiliki oleh pemilih pabrik, bukan pekerja. 

Kedua, pekerja juga teralienasi dengan dirinya sendiri, karena dalam sistem ini, pekerja terpaksa mengerjakan sesuatu yang tidak ia gemari hanya untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Terakhir, pekerja juga teralienasi dengan orang lain, sebab dalam sistem ini terdapat pembagian kerja sehingga interaksi antarsatu pekerja dengan yang lain menjadi terbatas.

Dari seluruh ketidakadilan yang diciptakan oleh sistem kapitalis ini, Karl Marx memandang bahwa kehidupan sosial masyarakat, hanya akan berubah jika sistem kapitalis dan kelas-kelas sosial dihapuskan melalui revolusi. Namun, revolusi yang selalu digadang-gadangkan oleh Marx, seolah menjadi kabar isapan jempol karena menurut Marx, ketika Proletar telah memiliki kesadaran untuk menghapus sistem kapitalis ini, para Borjuis akan membentuk kesadaran palsu atau false consciousness melalui hal-hal di luar ekonomi seperti agama yang telah mendarah daging di masyarakat.

  • Emile Durkheim

gb.3 foto Emile Durkheim, disadur dari www.google.com

Durkheim lahir pada 15 April 1858 di daerah Epinal, Perancis. Sebagai bagian dari generasi yang lahir setelah Revolusi Perancis, analisis yang dikemukakan oleh Durkheim berkutat pada dampak peristiwa tersebut terhadap masyarakat dan perkembangan masyarakat setelahnya. 

Analisis tersebut dituang dalam disertasinya yang berjudul De La Division du Travail Social. Sumbangsih Durkheim dalam memisahkan Sosiologi dari keilmuan Psikologi, Pedagogi, dan Filsafat juga ditulis dalam karya-karyanya yang lain seperti The Devision of Labour in Society (1893), The Rules of Sociology Method (1895), Suicide (1897), The Elementary Forms of Religious Life (1912).

Lebih lanjut, salah satu pemikiran Durkheim sukses dijadikan sebagai salah satu landasan berpikir atau paradigma dalam ilmu Sosiologi, pemikiran tersebut dikenal dengan Fakta Sosial. Dalam pandangannya ini, Durkheim menjabarkan bahwa sosiologi merupakan ilmu dari fakta sosial. 

Baginya, seorang sosiolog bertugas untuk mencari kaitan antara fakta sosial dan mengungkap aturan yang berlaku di dalamnya. Sementara, fakta sosial merupakan kenyataan yang berada di luar diri individu dan mempengaruhi individu dalam bertindak, berpikir, bahkan merasakan sesuatu, sebab telah ditanamkan secara koersif. 

Fakta sosial dibagi menjadi dua ranah, yaitu fakta sosial material yang terdiri atas sesuatu yang dapat dipahami, dilihat, dan diamati (tidak bersifat imajinatif), seperti bentuk bangunan, hukum, aturan. Kemudian terdapat fakta sosial  non-material, yakni suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam diri individu atas fakta sosial materialnya seperti kesadaran, moralitas, egoisme, altruisme, serta opini.

Berbeda dengan fakta sosial yang dijelaskan dalam The Rules of Sociology, Durkheim dalam The Devision of Labour in Society lebih banyak membahas mengenai pengaruh pembagian kerja dengan bentuk-bentuk solidaritas di dalam masyarakat. Solidaritas sosial merupakan relasi sosial baik antarindividu maupun kelompok yang dilandaskan pada kesamaan moral dan kepercayaan serta diperkuat oleh pengalaman bersama. 

Seiring dengan perkembangan industri dan terdapat pembagian kerja di dalamnya, terjadi pula krisis moral, sehingga Durkheim melihat adanya dua solidaritas yang berbeda yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Menurut Durkheim, adanya pembagian kerja mengantarkan masyarakat dari solidaritas mekanik ke dalam solidaritas organik. 

Di mana solidaritas mekanik merupakan relasi yang terbentuk ketika pembagian kerja di suatu kelompok atau masyarakat masih bersifat sederhana, dalam solidaritas ini, kelompok atau masyarakat akan bahu-membahu dalam mengerjakan pekerjaan. 

Sementara solidaritas organik terbentuk ketika pembagian kerja di suatu masyarakat sudah bersifat heterogen, dengan begitu dalam kelompok atau masyarakat akan terbagi dan bekerja masing-masing dalam kotak-kotak kerja yang berbeda satu dengan yang lainnya. Melalui pandangan ini, Durkheim menyebutkan bahwa perubahan atau perkembangan dalam masyarakat terjadi seiring dengan maraknya pembagian kerja. 

Selanjutnya, dalam buku Suicide Emile Durkheim memfokuskan pembahasan pada bunuh diri sebagai salah satu gejala sosial. Hal ini dilatarbelakangi oleh keresahan Durkheim sebab sebelumnya bunuh diri hanya dijelaskan dalam skala individual atau secara psikologis. 

Sementara menurutnya fenomena ini tidak cukup jika hanya dijelaskan melalui pendekatan tersebut, sebab fenomena ini sudah terjadi hampir di seluruh dunia, untuk itu ia menekankan pembahasan fenomena bunuh diri ini secara sosial. Dalam pembahasan ini, Durkheim melihat relasi antara bunuh diri dengan solidaritas dan regulasi yang berkembang dalam suatu masyarakat. Sehingga ia membagikan bunuh diri ke dalam empat bagian, yaitu :

  • Bunuh diri egoistik, adalah bunuh diri yang disebabkan oleh rendahnya tingkat solidaritas. Misal, tingkat bunuh diri kelompok laki-laki cenderung lebih tinggi dari perempuan, karena kelompok laki-laki cenderung malu untuk mengekspresikan perasaannya sehingga solidaritas yang terbentuk di antara kelompok laki-laki sering kali menjadi lemah atau rendah
  • Bunuh diri altruistik, adalah bunuh diri yang diakibatkan oleh tingginya solidaritas kepada kelompoknya. Misal, seorang tentara yang rela bunuh diri demi negaranya.
  • Bunuh diri fatalistik, adalah bunuh diri yang disebabkan oleh ketatnya regulasi yang mengikat di dalam kelompok. Misalnya, orang-orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hariannya, akibatnya ia memilih untuk berpasrah dan mengakhiri hidupnya.
  • Bunuh diri anomi, adalah bunuh diri yang diakibatkan oleh longgarnya regulasi yang dimiliki individu setelah diterpa perubahan. Misalnya, seorang artis papan atas yang namanya tiba-tiba meredup akhirnya dibuat gamang oleh situasi tersebut dan memilih untuk mengakhiri hidupnya  

Sekian pembahasan mengenai perspektif Karl Marx dan Emile Durkheim, sampai jumpa di tulisan berikutnya! :D 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline