Mimpi menyekolahkan anak ke perguruan tinggi kini dibayangi kecemasan mendalam, terutama bagi generasi Z yang akan menjadi orang tua di masa depan. Bagaimana tidak? Lonjakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tak terkendali membuat biaya pendidikan tinggi kian tak terjangkau. Fenomena ini diungkap dengan gamblang oleh Jerome Polin, seorang YouTuber dan content creator dalam videonya yang berjudul "Jerome Membayangkan Biaya Kuliah Anak" (https://youtu.be/wh6guH4CubI?si=t6RXD4qg0MokOiNf). Dalam video tersebut, Jerome dengan cermat menganalisis proyeksi biaya kuliah di masa depan dan membandingkannya dengan kenaikan gaji. Hasilnya? Sungguh mengejutkan dan membuat kita merenung tentang masa depan pendidikan di Indonesia.
Kenaikan UKT yang Melampaui Batas Logika
Jerome menyoroti kenaikan UKT di sejumlah universitas ternama yang mencapai 300-500%. Angka fantastis ini jauh melampaui kenaikan upah minimum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. PP ini menetapkan formula kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, pada kenyataannya, kenaikan upah riil jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan UKT.
Inflasi Melambung, UKT Meroket
Inflasi menjadi momok yang memperparah jurang pemisah antara kenaikan UKT dan kemampuan finansial calon mahasiswa. Hakikat inflasi adalah penurunan nilai mata uang, di mana uang Rp1 juta di tahun 2023 akan memiliki daya beli yang lebih rendah di tahun 2043. Inflasi ini memicu kenaikan harga barang dan jasa, termasuk biaya operasional universitas yang berujung pada kenaikan UKT. Tak hanya itu, inflasi juga menggerus daya beli mahasiswa, membuat biaya hidup seperti kos, makan, dan transportasi semakin mahal. Ironisnya, kenaikan UKT di banyak universitas jauh melampaui laju inflasi, misalnya mencapai 300-500% dibandingkan inflasi rata-rata 6% per tahun. Kondisi ini semakin memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah, mengancam akses mereka terhadap pendidikan tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi jitu seperti menabung dan investasi sejak dini, memilih universitas terjangkau, dan memanfaatkan program beasiswa untuk meredam dampak inflasi terhadap biaya pendidikan.
Simulasi Biaya Kuliah di Tahun 2042: Mimpi Buruk Generasi Z?
Jerome membuat simulasi biaya kuliah di tahun 2042 dengan menggunakan data biaya kuliah tahun 2022 dan menghitung inflasi sebesar 6,03%. Hasilnya, diperkirakan biaya kuliah rata-rata di universitas top pada tahun 2042 mencapai Rp483 juta! Angka ini setara dengan kenaikan sebesar 220% dari biaya kuliah tahun 2022.
Mampukah Orang Tua dari Generasi Z Membiayai Kuliah Anaknya?
Dengan asumsi gaji rata-rata orang tua sebesar Rp3 juta per bulan dan menabung 20% dari pendapatan selama 18 tahun, maka total tabungan yang terkumpul hanya Rp130 juta. Jumlah ini jelas tidak cukup untuk membayar biaya kuliah yang mencapai Rp483 juta. Bahkan dengan asumsi investasi dengan return 5% per tahun, total dana yang terkumpul hanya Rp202 juta. Artinya, masih ada kekurangan dana sebesar Rp281 juta.
Dampak Sistemik Kenaikan UKT yang Tak Terkendali
Kenaikan UKT yang tidak terkendali ini berpotensi menimbulkan dampak sistemik yang merugikan, di antaranya:
- Turunnya Angka Partisipasi Kasar (APK): APK pendidikan tinggi di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 31,45%. Kenaikan UKT akan semakin mempersulit generasi Z untuk mengakses pendidikan tinggi, sehingga APK berpotensi semakin menurun.
- Melebarnya Kesenjangan Sosial: Pendidikan tinggi seharusnya menjadi wahana untuk meningkatkan mobilitas sosial. Namun, dengan mahalnya biaya kuliah, kesenjangan sosial justru semakin melebar. Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah akan semakin sulit untuk menggapai mimpi mereka untuk kuliah.
- Hilangnya Potensi Generasi Z: Generasi Z memiliki potensi besar untuk memajukan bangsa. Namun, jika mereka tidak mendapatkan akses pendidikan tinggi yang layak, potensi tersebut akan tersia-siakan. Negara akan kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas untuk bersaing di era global.