Lihat ke Halaman Asli

Sistem Rujukan SJSN-BPJS an Pendidikan Dokter Indonesia

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

SISTEM RUJUKAN SJSN-BPJS DAN PENDIDIKAN DOKTER INDONESIA

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) mulai dilaksanakan sejak Januari 2014 alhamdulillah merupakan salah satu terobosan layanan kesehatan masyarakat yang sangat baik. Dengan sistem ini masyarakat sangat diuntungkan. Dapat disederhanakan bahwa SJSN-BPJS adalah asuransi kesehatan yang sangat murah tanpa persyaratan bertele-tele, dengan 25 ribu rupiah perbulan seorang warga negara Indonesia mendapatkan layanan kesehatan paripurna dari rawat jalan, rawat inap, persalinan, operasi, kemoterapi dan berbagai layanan kesehatan yang sangat mahal harganya. Kelemahan dan kekurangan SJSN tentu ada dan perlu diperbaiki secara bertahap demi tercapainya SJSN yang baik dan bermutu, sehingga kritik yang membangun senantiasa diperlukan salah satu yang masih perlu disempurnakan adalah sistem rujukan dan pembiayaan dari BPJS.

Sistem Rujukan
BPJS menganut sistem rujukan berjenjang, dimulai dari tingkat layanan primer seperti Puskesmas dan dokter praktek umum atau klinik swasta yang menyediakan layanan primer yang bekerjasama dengan BPJS. Rujukan selanjutnya adalah ke rumah sakit tipe D, C, B dan A yang bekerjasama dengan BPJS. Sistem rujukan ini mengacu pada sistem akreditasi RS bahwa RS dengan akreditasi lebih baik tentu memiliki kualitas dan kemampuan layanan yang lebih baik pula. Tujuan dari sistem rujukan tentunya agar kasus yang sederhana misalnya influenza cukup ditangai di tingkat layanan primer seperti Puskesmas sedangkan kasus berat seperti Kanker bisa di rujuk ke RS tipe B atau A
Sistem rujukan ini diikuti dengan tarif yang berbeda untuk jenis penyakit yang sama untuk masing-masing rumah sakit seperti contoh kasus berikut:
Diagnosis Stroke Perdarahan intraserebral berat (Kode INA CBGs G-4-13-III) kelas tiga bila dirawat di RS tipe B perkasus BPJS memberikan pembiayaan Rp. 4.398.569,- Namun bila di rawat di RS tipe A di kota yang sama BPJS memberikan pembiayaan Rp. 7.850.426,- . Fasilitas dan obat-obatan yang dibutuhkan untuk merawat pasien dengan stroke perdarahan intraserebral bisa dipenuhi baik oleh RS tipe A maupun tipe B bahkan oleh beberapa RS tipe C. Biaya obat-obatan dan penggunaan alat medis serta jasa dokter juga relatif sama karena berada dalam 1 kota. Sistem pembiayaan yang berbeda ini mempunyai beberapa implikasi:
1. Layanan pada pasien tersebut pada RS tipe B atau C tidak maksimal karena plafon pembiayaan yang terbatas bahkan terdapat resiko RS menanggung kerugian.
2. RS tipe A kekurangan pasien karena pasien dengan diagnosis tersebut tidak dapat dirujuk ke RS tipe A mengingat layanan telah tersedia di RS tipe B atau C, hal ini dapat menyebabkan kesulitan pemasukan dana bagi RS tipe A yang umumnya adalah RS besar dengan biaya operasional tinggi.
3. Antrian yang panjang di RS tipe B.
Beberapa kota menengah di Indonesia seperti Banjarmasin umumnya mempunyai satu RS tipe A atau B dan satu atau dua RS tipe C. Dalam kasus kota Banjarmasin dengan jumlah penduduk 655.185 jiwa dan 3.846.312 jiwa untuk Provinsi Kalsel (data BPS Provinsi Kalsel) dan hanya memiliki satu RS tipe A (RSUD Ulin Banjarmasin) dan satu RS tipe B (RSUD Ansyari Saleh). Dapat diperkirakan bahwa antrian pasien di RSUD Ansyari Saleh demikian panjang karena RS ini wajib menerima rujukan dari seluruh Puskesmas dan layanan primer dari kota banjarmasin dan sekitarnya, juga dari RS pemerintah tipe C di kabupaten sekitar Banjarmasin bahkan menerima rujukan dari beberapa kabupaten di provinsi Kalimantan Tengah. Sudah diketahui bersama bahwa panjangnya antrian selalu berimplikasi pada turunnya kualitas layanan
4. Tidak terlayaninya pegawai RS tipe A di rumah sakit dimana dia bekerja.
Ini adalah paradoks yang menyedihkan bahwa karyawan RS tipe A tidak bisa berobat di rumah sakit dimana dia bekerja untuk penyakit ringan seperti influenza, sakit maag atau sakit yang berat yang memerlukan rawat inap misalnya sakit tifus. Sang karyawan harus rela mengurus rujukan dari layanan primer dan bila perlu dirujuk ke RS tipe B/C dan dirawat disana. dia harus ikut antri di RS tipe B tidak bisa berobat di RS tempat dia bekerja. Seorang karyawan RS tipe A dengan sakit gigi yang tidak bisa dilayani di Puskesmas misalnya tidak bisa berobat di Poli gigi RS tipe A tempat dia bekerja , dia harus antri di RS tipe B dan hilanglah waktu produktifnya untuk bekerja,

Implikasi Pada Pendidikan Dokter
Rumah sakit pendidikan umumnya adalah RS besar dengan akreditasi A misalnya RSUD Dr. Soetomo Surabaya, RSUD Sardjito Yogyakarta dan RSUD Ulin Banjarmasin. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa sistem rujukan BPJS membuat pasien yang sampai di RS tipe A selain jumlahnya yang menurun juga jenis dan ragam kasus yang menjadi lebih sempit. Kasus-kasus yang sampai ke RS tipe A bila mengikuti ketat aturan rujukan JKLN-BPJS adalah kasus sulit yang memerlukan tindakan subspesialistik.
RS Pendidikan adalah RS yang bertugas mendidik dokter dengan tugas utama mencetak dokter umum. Untuk menjadi dokter umum yang baik maka seorang mahasiswa kedokteran harus banyak melihat, menangani dengan bimbingan kasus-kasus sesuai kompetensi yang diharapkan, di mana kasus-kasus itu semua adalah kasus yang mudah dan umum didapatkan di masyarakat seperti diare, nyeri kepala, sakit mag, demam tifus dan lain-lain. Dokter umum tidak dididik untuk bisa menangani kasus berat seperti kemoterapi kanker, stroke perdarahan berat, operasi jantung. Bahkan pada pendidikan dokter spesialis pun tetap dibutuhkan untuk menangani kasus-kasus yang sederhana. Seorang kandidat dokter spesialis obstetri harus menolong sekian puluh kali persalinan normal untuk mendapatkan mendapatkan gelar spesialis obstetri.
Sistem rujukan BPJS membuat pasien-pasien dengan kualifikasi “mudah” tidak sampai atau sedikit saja yang sampai ke RS Pendidikan, sehingga mahasiswa kedokteran tidak mendapatkan cukup pengalaman menangani suatu kasus yang harus menjadi kompetensi mereka. Mengirim mahasiswa kedokteran/dokter muda ke RS tipe B atau tipe C juga bukan alternatif yang ideal karena terhalang hal-hal sebagai berikut:
1. Jumlah dokter spesialis di RS Daerah tipe B dan C sangat terbatas dengan jumlah pasien yang banyak, sehingga tidak cukup waktu dan kesempatan untuk membimbing mahasiswa kedokteran/dokter muda hal ini tentu membuat pendidikan dokter tidak optimal.
2. Seandainyapun dokter/dosen dari RS tipe A diperintahkan untuk membimbing mahasiswa kedokteran di RS Tipe B Jejaring Pendidikan hal itu sulit dilaksanakan, mengingat sulit melakukan Bed Side Teaching (diskusi kasus dan pemeriksaan langsung pada pasien) karena pasien yang digunakan bed side teaching bukan merupakan pasien dokter yang mengajar. Sangat tidak etis dari sisi profesi kedokteran mengomentari apalagi menyalahkan manajemen pasien yang diberikan oleh sesama sejawat dokter di RS tipe B atau C tersebut. Belum lagi keterbatasan alat dan peraga pendidikan di RS tipe B dan C tentu membuat proses pendidikan semakin rumit.
3. RS pendidikan adalah RS tempat mendidik calon dokter, bila proses pendidikannya dipindah ke RS tipe B maka RS itu akan kehilangan predikat sebagai RS pendidikan
Kenyataan ini masih menjadi bahan diskusi hangat di Fakultas Kedokteran. Solusi yang bernama Rumah Sakit Jejaring Pendidikan terdengar ideal dan mudah dilaksanakan namun dari sisi implementasi sangat suli,t lebih dari apa yang sudah saya paparkan. Proses pendidikan dokter haruslah berpusat pada RS pendidikan utama, RS jejaring hanyalah pelengkap, pola ini berlaku diseluruh pendidikan dokter di seluruh dunia. Pola inilah juga yang menghasilkan dokter-dokter Indonesia dahulu dan sampai saat ini yang kompeten dan disegani di level Asia beberapa orang bahkan di level dunia. Malaysia masih mengirimkan mahasiswanya untuk belajar di Fakultas-fakultas Kedokteran di Indonesia. Banyak mahasiswa kedokteran Eropa meluangkan waktu untuk belajar di RS Pendidikan Indonesia. Banyak dokter Indonesia yang diminta melakukan operasi di RS ternama di Luar Negeri untuk berbagi ilmu. Mereka ini adalah produk RS Pendidikan Indonesia yang kokoh dengan pengalaman praktek yang sangat kaya.
Solusi yang komprehensif perlu segera diambil agar tidak terjadi degradasi dalam pendidikan dokter yang tentu akan mengecewakan anak bangsa di masa depan.

Solusi
Perlu evaluasi ulang pada sistem rujukan dan pembiayaan JKN-BPJS. Struktur biaya tidak perlu dibedakan berdasarkan tipe rumah sakit karena pada kenyataannya biaya yang diperlukan relatif tidak berbeda bila rumah sakit-rumah sakit tersebut berada dalam kota atau regional yang sama. Hal itu tentu lebih berkeadilan bagi RS yang menangani pasien dalam hal pembiayaan RS. Penyamaan tarif RS tentu membuka peluang BPJS untuk membebaskan pasien memilih RS yang sesuai dengan dirinya (misalnya dari sisi jarak dari rumah tinggal, dokter yang disukai dan fasilitas yang diperlukan) seperti sistem rujukan yang digunakan oleh PT ASKES dulu. Pembebasan pemilihan RS akan mengurangi jumlah antrian, meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat konsumen kesehatan dan meningkatkan kompetisi yang adil bagi semua RS untuk meningkatkan layanan kesehatan yang ditawarkannya. Layanan primer perlu diperkuat untuk menekan biaya kesehatan yang muncul.
Pembebasan pemilihan RS juga memberikan kesempatan RS Pendidikan untuk tetap mendapatkan pasien dalam jumlah cukup untuk menunjang proses pendidikan sehingga tetap dapat menghasilkan dokter-dokter Indonesia yang bermutu yang menjadi ujung tombak layanan kesehatan masa depan.

Dr. Pagan Pambudi, M.Si, Sp.S
Dosen/Dokter Spesialis Saraf
Bekerja di FK Unlam/RSUD Ulin Banjarmasin
Tinggal di Martapura

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline