Lihat ke Halaman Asli

Menoleh ke Timur: Jepang, Petani Alternatif, dan Ombak Perdagangan Bebas

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin banyak dari kita yang mengenal Negara Matahari Terbit, Jepang, sebagai negara yang penuh akan paradoks. Penuh akan kedisiplinan dan peraturan, namun juga kaya akan keanehan dan keunikannya sendiri.
Sebuah paradoks hidup dimana sehari-hari kita bisa melihat wanita-wanita dengan kimono berjalan-jalan disatu sisi jalan dan pria-pria berjas hitam lengkap dengan tas kerjanya di sisi lainnya. Dimana kemajuan teknologi berkembang seiring bertahannya budaya sadou (upacara minum teh) yang umurnya sudah ratusan tahun itu.
Mungkin juga sebagian dari kita sering mendengar bahwa masyarakat Jepang adalah orang yang gigih, pekerja keras dan loyal. Berdedikasi tinggi terhadap apa yang mereka lakukan dan mencurahkan segalanya yang ada pada diri mereka untuk hal tersebut. Kasus yang cukup dikenal dalam hal ini adalah dalam budaya korporasi-korporasi / perkantoran di Jepang.
Banyak yang berkata bahwa tingkat bunuh diri orang Jepang yang disebabkan stres cukuplah tinggi. Mungkin memang first world problem seperti umumnya, negara yang sangat maju namun terdapat kecacatan sosial yang menjamur didalamnya. Katanya, saking loyalnya seorang pekerja di Jepang terhadap korporasinya, malah sering menimbulkan permasalahan seperti stres dan tekanan-tekanan lain yang berujung pada bunuh diri. Isu semacam ini sudah berlangsung lama di daratan Jepang, terutama di kota-kota besarnya.

Penemuan Alternatif

Akhir-akhir ini, semakin memarak sebuah tren “solusi alternatif” yang menjawab permasalahan gaya hidup orang Jepang yang memakan banyak stres tersebut. Semakin banyak pekerja-pekerja kantoran dari kota besar yang memutuskan untuk berhenti bekerja lalu pindah ke daerah yang lebih rural seperti pedesaan dan memulai hidup baru sebagai petani. Entah petani beras, buah-buahan, atau sayur-sayuran, mungkin ada juga yang memilih menjadi peternak.
Mereka yang memilih untuk menjalani gaya hidup ini, sadar bahwa jalan hidup perkotaan 9 to 5 office hour tidaklah cocok untuk mereka. Mereka memilih untuk kembali hidup dalam kesederhanaan, untuk kembali dekat dengan alam. Pergi menjauh dari hutan beton dan pulang menuju rerumputan alam. Selain mereka dapat menghasilkan makanan mereka sendiri, mereka mampu menghasilkan sebuah sumber, baik penghasilan maupun kebutuhan, yang sustainable yang tidak mencaplok kekayaan alam secara merusak. Melainkan dengan bertumbuh bersamanya.
Junko Edahiro, dalam presentasinya di TEDx Tokyo, mengatakan bahwa sudah mulai banyak pemuda Jepang yang menjalankan gaya hidup seperti ini. Menjadi setengah petani, setengah yang lain: entah musisi, pekerja NGO, dan lainnya. Junko menamakan dan memperkenalkan kita pada De- Generation, sebuah tren pemuda di Jepang yang dilandaskan oleh 3 De- trend, yaitu: De-ownership, De-materialisation of happiness, dan De-materialisation of life.

Sebuah Ancaman Baru?

Di sisi lain, pada daratan perekonomian, Jepang sedang menghadapi sebuah negosiasi yang mungkin akan sangat mengubah struktur berjalannya Jepang. Pada akhir tahun 2011, Jepang menyatakan bahwa Jepang akan memasuki tahap negosiasi dalam kerjasama antar-negara berupa free-trade atau perdagangan bebas bernama TPP (Trans-Pacific Partnership) bersama sembilan negara lain dimana didalamnya terdapat Brunei, Malaysia, New Zealand, serta Amerika.
Berita ini cukup mengejutkan pihak-pihak agrikultur dan pertanian di Jepang. Karena selama ini, tariff  atau pajak untuk barang-barang impor cukuplah tinggi. Untuk impor beras sendiri, dikenakan tariff sebesar 800%. Jika Jepang memutuskan untuk ikut serta dalam TPP dan persetujuannya diimplementasikan, maka salah satu dari kebijakannya adalah untuk menghapus tariff-tariff tersebut. Dari pihak pertanian (serta perikanan dan sektor-sektor lainnya), tentu sangat merugikan karena mereka tidak akan mampu bersaing dengan pangan/barang impor yang tidak terkena pajak tersebut. Mereka juga berargumen banyak petani dan pekerja kelas biasa yang akan kehilangan pekerjaan mereka jika TPP disetujui.
Dilain pihak, mereka yang berada di sektor industri dan bisnis, seperti korporasi-korporasi besar Jepang yang nama-namanya tidak asing dikuping kita, tentu saja mendukung hal ini. Mereka mengatakan bahwa dengan TPP, barang-barang yang terjual di dalam Jepang sendiri akan menjadi lebih murah dan menguntungkan konsumen. Tentu tidak lupa dimana ada free-trade, pasti ada keuntungan kapital seperti membuka pabrik di negara lain dengan cost yang lebih kecil, bagi mereka yang berasal dari sektor bisnis dan industri.

Jalan Pembuka Atau Langkah Mundur?

Ironis memang, mendengar berita-berita yang baru memanas di Jepang seperti diatas ini. Satu sisi, Jepang menemukan sebuah solusi alternatif yang menjauhi materialisme, gaya hidup “negara maju” dengan kembali pada sederhananya bertani. Namun lalu dilindas harapan solusi tersebut dengan kemungkinan masuknya Jepang dalam TPP, yang bisa membunuh pertanian Jepang itu sendiri. Sampai saat ini saya belum mendengar hasil keputusan negosiasi Jepang dalam TPP. Kabarnya, tanggal 1 sampai 9 Maret kemarin, negara-negara yang terdaftar dalam TPP telah melakukan negosiasi lagi di Kota Melbourne, Australia. Entah saya harus melihat ini sebagai jalan pembuka menuju Jepang yang baru dan lebih terbuka, atau, sebuah langkah mundur dari Jepang yang akan menjadi lebih ramah dengan lingkungannya dan tamah akan spiritualnya. Mari kita lihat apa yang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline