"Ada yang pingsan, Dok. Sebentar, sih, sesudah disuntik. Tetapi sesudah dikasih oksigen, bangun, semua tanda-tanda vitalnya normal."
Teman saya seorang dokter umum yang menjadi vaksinator vaksin Sinovac di rumah sakit lain yang lebih besar dari rumah sakitku bercerita hal itu saat kebetulan bertemu di sebuah acara.
Setelah ditelusuri oleh timnya, ternyata si dokter spesialis wanita yang pingsan tadi memang sewaktu kecil sangat takut disuntik dan memang kebetulan jarang pula sakit dan jarang sekali disuntik.
Awalnya dia tenang saat melewati meja 1 dan meja 2. Lalu saat disuntik di meja 3 juga tenang. Namun beberapa saat setelah disuntik jadi limbung dan langsung dipegangi oleh petugas.
Ada beberapa tenaga kesehatan yang saat mau disuntik gelisah dan minta tunda dulu beberapa detik, lalu saat diusap kapas alkohol minta tunda lagi beberapa menit sampai 5 kali diancam batal saja dan diulang lain hari. Namun karena tidak mau terganggu waktu kerjanya, dengan berat hati mau juga divaksin.
Kebanyakan yang takut divaksin mengaku demam dan batuk pilek. Dengan begitu si vaksinator pun tidak jadi menyuntikkan vaksinnya, tetapi dua minggu lagi si calon penerima vaksin akan dipanggil ulang. Aturan di rumah sakitnya memang tegas, yang tidak mau divaksin dengan alasan tidak jelas akan diberikan surat peringatan (SP).
Untuk yang menderita asma sejak kecil, biasanya caranya mudah. Mengaku saja malam sebelumnya kena serangan, pasti vaksinasinya diurungkan. Namun kalau bohong terus, hati-hati saja nanti "kualat" malah benar-benar jadi asma berat.
Sebenarnya, di lingkungan beberapa rumah sakit pun pro dan kontra vaksinasi ini belum selesai, mengapa? Sebab memang infodemi terlalu banyak yang beredar tentang keamanan yang diragukan, kehalalan yang tidak jelas, tentang efektivitas yang kecil, dan terkadang masuk ke ranah politis juga.
Sebagai contoh, misalnya ada tokoh publik yang jelas-jelas ribut tentang ancaman sanksi untuk penolak vaksin, tetapi di kesempatan lain ribut pula kenapa Israel hanya memvaksin warganya dan tidak ke warga Palestina. Ini di satu sisi seolah menolak vaksin di tempat lain seolah kebijakan tidak vaksin adalah ketidakadilan.
Intinya, sebenarnya vaksinasi Covid-19 itu pada pelaksanaannya tidak ada pemaksaan 100%. Ada peluang untuk tidak divaksin kalau memang sangat takut, sebagai contoh yang pingsan karena divaksin karena trauma jarum suntik masa kecil.
Mungkin perlu dipikirkan keterlibatkan psikolog di sini untuk mempersiapkan mental si calon penerima supaya kuat. Ada juga screening ketat soal batuk pilek, kadar gula 3 bulan, penyakit kronis yang berat, dan tekanan darah yang harus 130 ke bawah sistole serta 80 ke bawah diastole.