"Fraud" atau kecurangan di bidang kedokteran memiliki perhatian besar karena profesi ini sangat dibutuhkan di satu sisi tetapi juga sangat banyak aliran uangnya dari banyak sektor di sisi lain. Tidak heran beberapa negara seperti Singapura, Malaysia dan negara Eropa bahkan memadukan dunia kesehatan dengan wisata dan bisnis pendukung lainnya serta mampu menyedot wisatawan pengobatan dari rakyat seperti negara Indonesia yang dunia kesehatannya masih sibuk mengurusi kesehatannya saja.
Biasanya tuduhan "fraud" muncul kalau terlihat ada kejanggalan dari sebuah aktifitas kesehatan yang diduga menguntungkan dokter atau rumah sakit atau instansi kesehatan lainnya dengan memanipulasi data-data dari pasien atau kasus tertentu. Intinya ada uang yang didapat untuk dibayarkan ke bidang kesehatan yang sebenarnya tidak berhak mendapatkannya dan otomatis ada yang dirugikan, pihak pembayar.
Untuk penanganan "covid-19" kabarnya 1 pasien dari sejak dirawat sampai sembuh atau meninggal, pemerintah akan memberikan bayaran kepada rumah sakit dengan jumlah puluhan juta (antara 20-60-an juta), makanya ada rumah sakit yang berani hanya mengkhususkan merawat kasus corona dan merujuk pasien kasus lainnya ke rumah sakit lain.
Adanya alokasi dana yang sebesar itu (dapat dianggap iming-iming) mungkin dikarenakan rumah sakit dan tenaga medis awalnya juga tidak siap atau bahkan takut dengan penyakit ini, sehingga adanya penggantian biaya itu dapat dipakai untuk membeli APD dan perlengkapan perawatan medis yang sesuai dengan beratnya resiko tertular.
Apakah benar dibayarkannya sebesar itu? Ada beberapa rumah sakit mungkin sudah mendapatkannya tetapi ada yang belum, ada yang baru mendapat separuh nanti diverifikasi lagi dan ada yang kasus-kasusnya ditolak dikategorikan "covid-19" karena hanya positif di rapid test antibody covid 19 tetapi swab (pulasan dari tenggorok hidung) PCR (alat pendeteksi DNA virus corona) dan gejala serta hasil laboratorium lainnya tidak mendukung.
Jadi, seperti program BPJS, maka pembayaran pasien program covid 19-pun ada proses verifikasi dan verifikasi ini sangat tergantung verifikatornya apakah dengan mudahnya melayakkan sebuah kasus dibayar atau mempersulit seleksinya. Mungkin juga disini ada perbedaan ketatnya verifikasi antara rumah sakit X yang miliknya pemerintah pusat, Y punyanya propinsi atau kota dan Z yang rumah sakit swasta.
Kecurangan atau "fraud" kalaupun ada akan tertangkap tangan oleh verifikator yang kita anggap saja semuanya jujur. Dan memang untuk mendiagnosis suspek (diduga) pasien covid 19 syaratnya sangat mudah saat ini, hanya dengan ada gejala demam, batuk, pilek, sesak napas dan sakit tenggorokan dan tinggal di daerah yang zona merah atau pernah ke keramaian atau kontak dengan orang sakit sama, itu sudah boleh dikategorikan suspek. Laboratorium dan ronsen boleh mendukung tetapi kalau verifikatornya baik hati, mungkin tidak mendukung juga tidak apa-apa.
Bahkan, orang tanpa gejala sama sekali, segar bugar tetapi dia oleh kantornya diwajibkan pemeriksaan swab dan hasilnya positif, ini juga dikategorikan konfirmasi (OTG) walaupun tidak harus dirawat, tetapi kalau dia tidak punya tempat isolasi mandiri selama 2 minggu maka boleh istirahat di rumah sakit, dikasih makan dan obat tetapi tidak diinfus.
Makanya kalau ada tuduhan pasien dijadikan positif covid-19, mungkin maksudnya suspek covid-19, karena pasien ada demam dan pemeriksaan pendukungnya mengarah ke penyakit itu. Tetapi kalau laboratoriumnya hasil swab negatif diubah positif, ini pasti ketahuan, karena hasil itu dilaporkan secara nasional, rumah sakit tidak akan berani mengubahnya.
Malah kalau ada jenazah dengan gejala dan pemeriksaan penunjang sangat mendukung penyakit pandemi ini, karena desakan keluarga "diturunkan" statusnya menjadi bukan covid-19, disitu ada kecurangan atau "fraud" karena ada kerugian yang akan diderita masyarakat, bukan berupa uang tetapi ancaman tertular penyakit yang mematikan.
Lain halnya status pandemi covid-19 ini dicabut WHO (badan kesehatan dunia) dan pemerintah mencabut status bencananya, serta kriteria diagnosis penyakit ini lebih diperketat, mungkin rumah sakit juga lebih memilah kasus untuk dikategorikan covid-19 karena mungkin juga "iming-iming" uang puluhan juta persatu kasus virus corona sudah tidak ada lagi, ini dianggap penyakit biasa yang dibayarkan biasa juga kalau meninggal dikuburkannya secara normal.