Kerusuhan 21 Mei 2019 yang setidaknya menyebabkan 8 korban tewas, menyisakan kedukaan yang mendalam bagi semua rakyat Indonesia karena janjinya akan dikelola seteduh dan sekondusif mungkin.
Memang ada alibi kordinator lapangan demonstrasi BAWASLU 21 Mei 2019 bahwa kelompok perusuh itu kelompok lain dari mereka tetapi momentumnya di lokasi yang berdekatan dan waktu harinya sama. Istilahnya kalau demonstrasi "damai" sampai pukul 8 malam itu tidak jadi dilakukan, apakah rusuh tengah malam itu tetap dijalankan? Bisa iya, bisa tidak dan massa yang terprovokasi ternyata bukan hanya preman yang dibayar, tetapi yang tidak dibayarpun ada yang ikutan.
Kilas balik di Mei 1998, ada kerusuhan yang mirip, dipicu kematian 4 mahasiswa trisakti, berlanjut "chaos" dan terjadi pergantian kekuasaan dari presiden Soeharto ke presiden B. J. Habiebie, sepertinya ini ingin diulang dan merujuk pergolakan di Tunisia, Libya dan Mesir yang dipacu adanya "martir" lalu disebar di media sosial, membuat rakyat bergerak, cara ini ingin dicoba di negeri kita tetapi ternyata tidak berhasil, mengapa?
1. Polisi dan TNI sudah jauh-jauh hari menyatakan tidak usah turun ke jalan, banyak teroris dan penyusup karena direncanakan ada martir yang ingin membuat "chaos". Maka sebenarnya yang masih turun ke jalan di tanggal 21 dan 22 Mei semuanya sudah paham risikonya dan tahu kalau tertembak matipun mereka belum tentu diberi gelar "martir".
2. Polisi dan TNI sudah memberitahukan tidak memakai senjata dan peluru tajam, jadi kalau ada yang terkena peluru tajam maka itu bukan dari aparat resmi yang dikomando panglima TNI dan kepala POLRI.
3. Konon kabarnya perusuh ini ada yang bandari tetapi bandarnya pelit. Misalnya untuk membuat rusuh bakar-bakaran setengah kota Jakarta perlu 500 milyar ampe 1 trilyun untuk logistik, bayar preman kelas kakap dan senjata mematikan, namun karena bundarnya hanya kasih 1-2 milyar misalnya, hanya dapat bayari preman pemula, senjata batu dan busur bikin sendiri serta bom bensin sederhana.
4. Jakarta sudah banyak CCTV yang dapat melihat pergerakan para perusuh, ambulan yang mengangkut mereka dan kebetulan beberapa ambulan disita polisi, ini dapat saja menjadi alasan institusi penyokong perusuh ini diselidiki dan kalau bersalah sampai tingkat pusat, dapat saja dibekukan ijinnya.
Namun, menghukum pelaku kejahatan belum tentu berefek baik bagi negara, karena pendukung loyalisnya belum tentu menerima dan penyusup bisa jadi membuat kerusuhan baru.
Proses rekonsiliasi di Afrika Selatan perlu dicontoh, para perancang rusuh, bandar rusuh, pelaksana rusuh boleh dimaafkan asal mengakui segala kesalahannya. Bisa jadi mereka membayar kompensasi kerugian atas kerusakan atau kehilangan nyawa yang disebabkannya.
Tetapi jangan dilupakan, perusuh, bandarnya dan pelaku rusuh, harus tetap dipantau seumur hidup, kalau mulai "rewel" lagi dilumpuhkan saja. Yang terpenting, orang-orang berpotensi merusak ini jangan diijinkan lagi ikut di pemerintahan, untuk ketua RT sekalipun, karena dapat saja membuat onar setingkat tetangga sebelah menyebelah.
Kesalahan reformasi 1998 yang tidak selesai adalah hanya menurunkan kediktatoran dan membentuk demokrasi yang membumi tetapi berhenti hanya memaafkan para pembuat onar di negeri ini. Lalu lupa, bahwa mereka-mereka yang anti semangat reformasi seharusnya dilarang ikut-ikutan di eksekutif, yudikatif ataupun legislatif karena suatu saat akan mencoba lagi membungkam demokrasi dan kembali ke ideologi antidemokrasi dengan segala cara.