Saya terlahir dari keluarga Batak klasik istilah lainnya "Batak Tembak Langsung (BTL)", yang "keras" dimana terbiasa orang tua memerintah anaknya dengan suara menggelegar dan kalau kita melakukan kesalahan dibentak-bentak hebat.
Namun, mungkin karena usia atau karena kemajuan jaman atau karena saya punya anak, terhadap cucu-cucunya, ayah dan ibu saya menjadi sangat lembut, sangat mengayomi dan berbuat salahpun seperti memecahkan gelas atau membuat kotor lantai rumah dengan tanah atau pasir yang diambil dari halaman, mereka tidak marah.
Intinya, kakek nenek itu menjadi sejuk dan ramah kepada cucu-cucunya, jauh lebih ramah dari kepada saya dan saudara-saudara saya jaman sekolah sampai kuliah dahulu. Apakah saya iri dengan kondisi seperti ini? Enggaklah, tiap jaman ada gayanya sendiri dan tiap lingkungan yang berbeda akan memiliki pendekatan yang berbeda.
Bagaimana dengan Jokowi, saya pikir tidak pernah ada isilah STL (Solo Tembak Langsung), yang terkenal di Solo malah lagu "Bengawan Solo" dan sopan santunnya Putri Solo, sehingga kalau Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Republik Indonesia, bersikap lembut, mengayomi dan sejuk dalam sebagian besar aktifitasnya itu sangat wajar, apalagi dengan cucu-cucunya, terutama Jan Ethes yang menggemaskan.
Jokowi memang pernah marah, membuat kaget kawan dan lawan, tetapi itu bukan sifat utama dia, hanya ungkapan kejengkelan yang sudah sangat melewati batas kesabaran dan bagi pendukungnya sebenarnya itu perlu, karena merekapun sudah lebih jengkel "dikerjai" sejak lama. Selanjutnya, senyum Jokowi yang tidak dibuat-buat kembali tampak dan suara lembutnya kembali terucap.
Selain karena ada cucu dan karena berdarah asli Solo, mungkin adanya pendamping yang lembut seperti Ibu Negara Iriana, membuat Jokowi lebih mudah mengendalikan emosinya.
Dibalik kesuksesan seorang pria, pasti ada wanita yang mendukungnya, ibu Iriana yang sederhana tidak ikut-ikutan "main proyek" atau minta "10 persen" selama menjadi ibu negara dan hanya mendampingi suami saat tugas, bahkan kalau makan bersama di restoran, terlihat si ibu spontan saja ikut membagi-bagikan piring, nasi dan lauk pauk ke rombongan. Apakah ini pencitraan? Tergantung melihatnya, pakai hati atau pakai kaca mata kuda.
Yang pasti di 2014 lalu lebih 50% rakyat Indonesia memilih Jokowi sebagai presiden karena sejak di Solo memilih menjadi pemimpin yang sejuk dan sampai saat inipun lebih suka tinggal di Istana Bogor yang lebih rindang dari Istana Merdeka.
Apakah di 17 April 2019 nanti rakyat kita masih menginginkan pemimpin yang sejuk? Atau lebih memilih yang gaya lain? Kita tunggu saja keputusan KPU dan jangan syukuran hanya berdasarkan "quick count" survey rasional, internal, internasional, interlokal ataupun inter-abal.
Setuju?