"Wah, ini makam atheis, tidak ada nisannya, inisialnya "R*", aku paculi, ya..." Celetuk Cak Lontong dengan geram, di babak kedua pementasan "Kanjeng Sepuh" di Taman Ismail Marzuki semalam 23 Maret 2019, pukul 20.00-23.00, wib.
Kegeraman yang seperti serius namun tetap lucu, apalagi lawan bicaranya, Akbar yang menjadi pengumpan atau "korban" banyolan logis silogisme khas Cak Lontong, pas sekali beradu dialognya.
Hanya dua hari pementasan dilakukan 22 dan 23 Maret 2019, tidak membosankan diikuti selama 3 jam tanpa jeda istirahat "pipis", disutradai Sujiwo Tejo yang sering pentas mendalang di televisi, adalah pementasan ke 31 Indonesia Kita, yang fokus melestarikan keberagaman, kebhinekaan dan persatuan.
Kisahnya tentang adanya mimpi Marwoto, orang tua yang jadi panutan di negeri itu tentang adanya Srikandi yang menitis pada salah satu wanita di negeri itu.
Soima merasa dialah titisan Srikandi, karena kaya raya dan menjadi caleg, sementara Cak Lontong merasa titisan Arjuna. Kanjeng Sepuh, yang losmennya tidak laku dan istrinya Wulan Guritno yang kecewa pun bertengkar, lalu pergi meninggalkannya.
Ternyata titisan Srikandi bukan Soima tetapi lawan politiknya Yu Ningsih dan titisan arjuna si Kanjeng Sepuh sendiri.
Tim kreatif Butet Kertaredjasa, Djaduk Ferianto dan penulis skenario Agus Noor, mungkin akan komat kamit jantungan sendiri melihat banyaknya variasi, kreatifitas alias spontanitas pemain diatas panggung yang di luar latihan, membuat penonton terpingkal-pingkal sepanjang pertunjukan.
"Jangan kapok menjadi Indonesia...." Kalimat terakhir Sujiwo Tejo disambut tepuk tangan meriah para penonton dan menjanjikan di bulan Juli, mereka akan mentas lagi.