Saya dapat ide menulis ini sedari siang tadi, tetapi ketiduran karena capek kerja. Terus bangun tidur ada acara lagi yang membuat baru sempat menulis lagi minimal 150 kata dengan ada kata Jokowi-nya di judul.
"Browsing" di internet ternyata Kedutaan Besar Rusia, melalui atase persnya Denis Tetiushin tidak meminta permintaan maaf kepada presiden Jokowi atas terminologi "propaganda Rusia" yang dipakai beliau saat pidato, seperti dirangkum disini . Kedutaan hanya tidak mau nama Rusia dipakai dalam konstelasi perpolitikan di Indonesia menjelang pilpres.
Nah, tadinya, kalau tidak ada penyataan itu, Jokowi mungkin saja meminta maaf menyakiti hati Rusia, tetapi jangan sekarang, karena pasti meminta maaf yang berarti mengaku salah itu akan "dipakai" buat diutak-atik di media sosial.
Sebenarnya keinginan Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Goegievna Verobieva itu cukup masuk akal, terminologi tersebut pernah dipakai di pemilu Amerika Serikat yang terakhir dan terkesan menyudutkan Rusia dan sampai saat inipun terus dijadikan isu politik untuk menyerang Trump.
Dengan wanti-wanti tersebut, maka tim sukses Jokowi pun berjanji tidak ada memakai istiah "propaganda Rusia" lagi, tetapi mungkin "propaganda you know who-lah" atau "propaganda Vodka" atau "propaganda KGB" yang penting jangan sebut nama Rusianya. Tetapi apa benar, sih timses seberang menyewa konsultan politik dari negeri yang demokrasinya belum sebagus Indonesia?
Kalau ada, surat ijin kerjanya harus diteliti, tuh. Jangan-jangan si "bule"-nya yang ternyata konsultan politik itu ijin ke Indonesia cuma buat wisata, tetapi jadi konsultan politik, harus dideportasi,kan? Ijin bisnis atau jasa seharusnya beda dengan cuma visitor.
Jadi, kalau toh si bule ada dan ijin kerjanya memang konsultan politik, mungkin sesudah pilpres, boleh minta maaf ke si bule, apalagi kalau dia masih di Indonesia bulan Juni saat lebaran, jadi maafnya karena Idul Fitri. Kalau si bule ternyata ijinnya wisata dan ternyata kerja konsultan politik, silahkan dideportasi, mohon maafnya ya saat itu juga. Tetapi kalau bulenya tidak ada dan hanya propagandanya saja yang dipakai, maka boleh minta maaf, karena sudah memakai terminologi tersebut tanpa ada bule dari Rus*a-nya.
Yang penting, mulai sekarang tim sukses Jokowi berhati-hati mencari istilah-istilah yang dapat "digoreng" lawan. Dianggap menyebarkan "hoax" bukankah tidak enak didengar dan dapat membuat "swing voter" berpikir ulang lagi. Walaupun saya rasa isu ini tidak mungkin dijadikan alasan demonstrasi di Monas sampai 3 jilid. Dananya sayang, kan? Mendingan buat kampanye caleg.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H