"Maaf, pak. Kami mau mewawancara perayaan natal di gereja ini."Kata salah satu orang yang mengaku wartawan padaku, selanjutnya saya memanggil sekertaris gereja yang mengetahui serba-serbi perayaan natal tahun ini.
Ada kurang lebih 4-6 orang lelaki dengan tustelnya dan "handycam" mengaku dari beberapa televisi dan media "mainstream" yang ada cabangnya di Kota Palembang mewawancara majelis dan pendeta di depan gereja, kebetulan memang gereja kami baru disinggahi gubernur Sumatera Selatan Herman Deru dan jajaran terkait untuk melihat kesiapan aparat keamanan mengamankan malam natal di Palembang.
Saya tadinya mengira serombongan "wartawan" itu ikut meliput kegiatan si Sumsel 1 sekaligus tempat yang disinggahinya menjadi satu paket. Ternyata berbeda, setelah para pembesar itu pergi para "kuli tinta" itu malah masih mewawancara.
Beberapa pertanyaan yang saya dengar antara lain, apakah tema perayaannya, apa saja kegiatannya, berapa jumlah jemaatnya, bagaimana pesan dan kesan yang ingin disampaikan dan lain-lainnya. Terakhir, para "wartawan" itu meninggalkan tempat dan satu orang datang mendekati sekertaris gereja minta "amplop" untuk semua yang mewawancara tadi. Nah,lho.
Si Abang sekertaris pun cuma berkata bahwa kami tidak punya anggaran buat kasih "amplop" apapun ke wartawan, kalau untuk kegiatan sosial ada, bagi orang miskin sekitar gereja, untuk pengobatan massal, sumbangan ke panti asuhan dan biasanya minta dibuat proposal dahulu lalu dirapatkan di majelis gereja. Dahulu malah pernah Met** TV meliput perayaan di gereja kami dan mereka yang memberikan sesuatu sumbangan, bukan malah meminta "amplop".
Beliau menegaskan gereja bukan perusahaan atau yayasan yang perlu publikasi berlebihan, karena kegiataannya bersifat "untuk kalangan sendiri". Dengan sedikit kecewa si "wartawan" (tanda kutip saya buat, karena memang tidak ada kartu pers-nya ditunjukkan,misalnya:wartawan Kompasiana, gitu , lho..) meninggalkan tempat dan mungkin saja memang tidak pernah ada berita tentang malam natal di gereja kami yang dicetak atau disiarkan.
Sebagai seorang "citizen Journalism" yang sudah 8 tahun berkecimpung di Kompasiana, saya sangat prihatin dengan para "wartawan amplop" yang mewawancarai tadi. Pertama, kalau memang mereka bukan wartawan asli, berarti profesi wartawan profesional rawan dijadikan ajang penipuan.
Kedua, bila beberapa orang itu wartawan benaran dan "sepakat" semuanya minta amplop, saya prihatin sekali dengan mentalitas beberapa oknum wartawan profesional di palembang.
Ketiga, kalau mereka oknum wartawan benaran, kok gereja dimintai amplop? Ini bukan sebuah badan usaha atau yayasan yang mencari untung, tetapi hanyalah lembaga kerohanian, seharusnya kitalah yang mencari donasi untuk kegiatan rohani atau sosial. Jadi apa memang tidak pilih-pilih lagi mana yang harus dimintai amplop atau tidak.
Semoga dewan pers atau kepolisian dapat membina wartawan asli dan menindak wartawan palsu yang suka "minta amplop", supaya kita-kita yang jurnalisme warga ini tidak melulu harus menulis kasus yang beginian, karena profesi wartawan profesional harus tetap ada dan dihormati, jangan ijinkan setitik nila oknum "wartawan amplop" merusak susu jurnalisme profesional sebelanga.