"Maaf, tuan Koko, anda ditahan. Karena tuduhan permufakatan jahat menggulingkan pemerintahan yang syah."Lima aparat keamanan berbaju hitam-hitam, bertopeng bak Dart Vader di film "Star Wars", anggota pasukan khusus antimakar "Densus 69", yang dibentuk tahun lalu, memborgolnya dan membawanya dengan mobil khusus lapis baja.
Koko, pengusaha muda, yang tiga tahun lalu adalah relawan fanatik Presiden terpilih Fido dan Wakil presidennya Dido, beberapa bulan terakhir sering mendanai demonstrasi menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang syah. Alasannya klasik, kecewa, tidak sesuai janji kampanye dan pelaksanaannya.
Dia "toke" nomor wahid usaha properti dan perhotelan di Pulau Kejawen, satu diantara tiga relawan kaya raya yang masing masing merelakan tidak kurang 1 trilyun untuk mendanai kampanye pemilihan presiden Fido-Dido melawan calon lain Gobak-Sodor.
Relawan lain Kaka, pengusaha bidang perkebunan di Pulau Semenanjung dan yang lainnya Kiki, pengusaha bidang multi media.
"Fido dan Dido lebih ganteng-ganteng dan dari keluarga "high class", sementara Gobak dan Sodor adalah politisi yang merangkak dari kaum buruh dan miskin, mereka pasti membenci orang-orang kaya seperti kita. Seharusnya kita "all-out" membantu kemenangan Fido-Dido untuk kemajuan Negeri Lohjinawi."Kata Kaka tiga setengah tahun lalu pada kedua koleganya.
Berdiskusi dan urun rembuk dengan tim sukses sang calon, merekapun sepakat menyumbang masing-masing satu trilyun ripah (mata uang Negeri Lohjinawi, dimana 1 gram emas harganya rata-rata 500 ribu ripah). Ada yang menyerahkan dananya begitu saja, terserah mau diapain, ada yang ingin menjadi semacam bendahara tim sukses dimana 3 trilyun dari relawan atau simpatisan gila-gilaan itu, dia yang kelola dan Koko sendiri ingin ikut terlibat jadi juru bicara tim sukses, karena itu ada gunanya untuk bisnisnya selanjutnya, menang atau kalah pasangan Fido-Dido, dia tetap akan melambung ketenarannya.
Enam bulan bergelut dengan intrik, perang kata-kata, perang postingan dan adu kreatif kampanye dari yang paling primitif dangdutan semalam suntuk sampai yang tercanggih menari "flash mob" diatas puncak Mount Everest oleh 40 orang tim kampanye yang nekad (walau ujungnya dibayarnya mahal juga), akhirnya Fido-Dido menjadi juaranya. Walau banyak sakit mata dan kuping dengan perang argumen dan "hoax" yang berseliweran dari kedua kubu, tetapi satu yang patut diacungi jempol, tidak ada yang cedera atau meninggal karena kampanye. Kalau meninggal sakit karena kecapean ada, tetapi itu memang karena si pasiennya yang tidak mau disuruh istirahat dan berhenti merokok.
Kiki, karena modalnya 1 trilyun pun diangkat menjadi menteri penerangan, Kaka menjadi Dewan Pertimbangan Presiden, sementara Koko menolak masuk di "ring 1" istana, karena ingin tetap berperan pada semua masyarakat, karena dianggapnya masa rivalitas sudah selesai.
Setahun berlalu, dirasakan Koko janji kampanye Fido dan Dido tidak banyak yang sejalan dengan yang dia inginkan. Bahan bakar minyak memang dimurahkan menjadi 2000 seliter, bahan makanan diimpor supaya murah semua dan orang miskin diberikan subsidi 1 juta sebulan perkeluarga. Sebaliknya perjalanan dinas eksekutif, yudikatif, eksekutif dan rombongan presiden keluar negeri tambah sering.Anggaran negara yang 2000 trilyun ripah, 1000 trilyunnya habis buat jalan-jalan dan subsidi, 500 trilyun buat gaji, 100 trilyun masing-masing buat kesehatan dan pendidikan, tinggal 300 trilyun lagi buat pembangunan infrastruktur.
Itupun yang dibangun juga kantor-kantor di ibu kota dan taman-tamannya. Alasan Fido sang presiden sederhana "Tahun pertama pemerintahan saya, yang penting bulan madu dulu, kita "happy-happy"..."Katanya.
Pasangan capres-cawapres itu memang berpendirian kebijakan pembangunan itu harus populer, disukai orang banyak, untuk apa bersakit-sakit kalau rakyat tidak mengerti juga guna pembangunan fisik itu apa. Defisit pembangunan ditutupi dengan menaikkan pajak yang tidak adil, pengusaha pro penguasa banyak diberikan kelonggaran, sementara yang anti penguasa dinaikkan pajaknya tanpa ampun, kalau tidak bayar langsung dipenjara.