Lihat ke Halaman Asli

Posma Siahaan

TERVERIFIKASI

Science and art

Dari Bedah Novel "Perempuan yang Memetik Mawar" karya Dahlia Rasyad, Novel Ini Belum Selesai....

Diperbarui: 13 Agustus 2018   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Siapa yang sudah mengenal Dahlia Rasyad? Pasti banyak yang belum mengenalnya, karena memang dia baru mengeluarkan satu novel ini yang memenangkan pengharhaan karya sastra terbaik Balai Bahasa Yogyakarta tahun 2014.

img-20180813-195712-5b7180d26ddcae4dca5b01e2.jpg

Buku inipun disusun 7 tahun untuk mendalami latar geografi,  sejarah dan adat di daerah ilir Sungai Musi dimana kisah terjadi dan memakai banyak diksi bermuatan lokal yang terkadang asing dipakai. 

Ide ceritanya tentang feminisme di satu sisi  dan pemberontakan terhadap ketidakadilan di sisi lain yang dialami wanita-wanita di dusun mereka yang tertindas hukum adat setempat yang interpretasinya sesuai pemuka adat yang berpengaruh.

Kisah lengkapnya sengaja saya simpan, karena panjang dan jangan menghilangkan minat anda-anda baca sendiri.  Yang saya acungi jempol,  panitia yang bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan Daerah Sumatera Selatan dapat menghadirkan Ken Zuraidah,  pemain Bengkel Teater, istri WS Rendra almarhum,  sebagai pembedah novel,  selain Sdina Trisman (wartawan senior), Syamsul Fajri (penulis)  dan Dian Susilastri (dosen sastra). 

Kritik tetap ada baik dari pemilihan diksi dan alur cerita,  sejarah yang semestinya lebih diperdalam dan sebagianya,  tetapi yang penting bagi masyarakat pecinta sastra Sumatera Selatan, acara bedah novel yang dilehat Minggu kemarin 12 Agustus 2018 di Auditorium Perpustakaan Daerah Sumatera Selatan jalan Demang lebar Daun,  ini sebagai perayaan sastra yang besar karena baru kali ini acara seperti ini diadakan.

Sdinah, Penulis, Ken Zuraida,Dian,Syamsul (dok. Pri)

Wartawan Senior Sdinah memotivasi penulis lainnya yang hadir,  bahwa menulis itu bukan teori,  harus dipraktekkan dan dilatih. 

Syamsul berpendapat lain lagi,  bahwa novel ini belum selesai,  masih bisa ditambahi atau dikurangi kalau ada kesalahan dan pembaca juga boleh menambahi karya ini dengan imajinasinya masing -masing. 

Bu dosen Dian pun meminta ada konsistensi untuk kata ganti orang atau benda dan beberapa tata bahasa tertentu,  sementara Ken Zuraida mengusulkan buku novel ini ada versi digitalnya,  untuk menjangkau pembaca generasi milenial. 

Saya, bu Ken Zuraidah, Umek Elly Suryani (dok.pri)

Lucunya,  selesai acara,  saya dan Elly Suryani sang komandan Kompasianer Palembang malah menyerbu bu Ken Zuraida untuk foto bareng,  bukan dengan penulis novelnya.  Maaf, ya,  mbak Dahlia. 

Kompasianer Palembang lain yang juga hadir adalah bu Soufie dari Lahat, mbak Winda dan Molly. 

Satu hal yang saya tidak duga ketika bilang pada bu Ken,  bahwa saya pengagum berat karya WS Rendra,  motivasi menulis saya beliau, dia malah bilang begini,  "Karya saya belum kamu baca, kan?  Berarti belum sampai di Palembang,ya..... "

Nah, lho.  Berarti walaupun suami-istri,  tiap sastrawan punya kebanggaan sendiri-sendiri atas karya masing-masing. Jangan memuji berlebihan karya orang lain di depan suami atau istrinya sekalipun yang sastrawan juga.  Nyatakan apresiasi jugalah terhadap karya si sastrawan yang diajak bicara. Mohon maaflah bu Ken,  saya belum mencari karyanya untuk dibaca, saya janji akan cari di dunia maya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline