Pagi , tanggal 13 Juni 2018 kemarin saya baru terbangun pukul 8 pagi, langsung buat tulisan tentang perjalanan ke Gunung Fuji, takut kenangannya basi kalau lama-lama disimpan di otak entah bagian kanan atau kiri. Pokoknya, selesai mandi langsung "upload" foto di "facebook" dan video di "youtube", lalu mulai masuk ke kompasiana untuk meramu dua jenis dokumentasi itu sebagai anyaman kisah perjalanan yang diharapkan menarik.
Masalahnya, apa sih yang tidak menarik di Tokyo? Dan apa sih yang menarik di Tokyo yang belum dibahas oleh orang lain? Itu yang saya pikir keras selama kurang lebih 10 menit, setelah mendapat inspirasipun nantinya saya harus berpikir keras 10 menit lainnya, apa sih judul tulisan diatas ini yang membuat teman-teman sudi mampir dan jangan "melengos" saja?
Tetapi setelah kisah kemarin tayang di Kompasiana pukul 10.30 kurang lebih waktu Tokyo, "tour guide" pribadi saya si mamanya anak-anak mengajak berangkat ke stasiun Shinjuku Nishiguchi sekitar hostel dan memutuskan membeli tiket kereta "subway" seharian perusahaan Toei Line.
Di Jepang selain pemerintah, ada beberapa perusahaan lain yang memiliki jalur kereta api bawah tanah ini. Manfaatnya kalau mau jalan-jalan pakai tiket terusan ini jauh lebih hemat daripada yang putus-putus, karena kalau kesasar tinggal balik lagi dan bayarnya sama saja.
Perjalanan pertama kami adalah ke kuil tertua dan paling ramai dikunjungi di Tokyo, yaitu Kuil Sensoji di Asakusa, kami naik dari jalur E1 dan berhenti di E11, padahal kalau pindah kereta ke jalur A17, kita turun ke A18 yang lebih dekat, ini kami tahu saat pulangnya dengan tanya-tanya wisatawan lain. Maka ada banyak jalur peralihan yang perlu dipelajari sebelum berangkat.
Kuil Sensoji dibangun abad ke 6 Masehi dan sangat ramai dikunjungi oleh anak-anak sekolah serta wisatawan bule dan wajah Arab atau India. Uniknya disini banyak yang memakai kimono untuk ikut ritual tertentu.
Menara ini mirip "sutet" kita sebenarnya, tetapi ya di Tokyo jadi semacam "landmark" yang menjadi bukti kita sudah kesana harus ada foto "selfie" disini yang maunya dianggap semacam menara Eiffel di Paris. Disini ada banyak alat-alat bantu untuk olehraga, bahkan kursi tamannya pun dibuat melengkang-lengkung sesuai dengan lekukan untuk posisi yoga.
Kisah Hachiko yang hidup tahun 1923-1935 menjadi pelajaran tentang kesetiaan pada anak-anak sekolah dasar di Jepang. Alkisah, anjing jantan jenis Akita Inu ini dipelihara oleh seorang Profesor bidang pertanian di Tokyo yang rumahnya dekat Stasiun Shibuya. Setiap sore si anjing selalu menyambut tuannya di stasiun kereta ini pulang kerja, namun setelah si Profesor meninggalpun Hachiko selalu menunggu di depan stasiun sore hari sampai akhirnya meninggal.