"Dok, Pasien ngotot tetap mau kontrol disini, sementara Dokter keluarganya ngotot rujukan yang dia keluarkan dua minggu lalu berlaku sebulan..."Keluh bagian pendaftaran, yang masih imut-imut seperti mau menangis dibentak-bentak oleh kakek-kakek dan nenek-nenek yang merasa dipermainkan mondar-mandir ke rumah sakit dan dokter keluarga.
Si Pasien yang usia 60 tahunan, suami istri berikut anak dan menantunya pun Saya persilahkan masuk ruangan dan dijelaskan mengenai ketentuan terbaru BPJS Kesehatan untuk lebih memberdayakan Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP, Puskesmas atau Dokter Keluarga).
"Saya sudah kasih surat rujuk balik seminggu lalu, isinya diagnosis penyakit Kakek dan Nenek disertai pemeriksaan penunjangnya, serta obat-obatannya dan kalian juga sudah cocok dengan obat itu, maka saya rujuk untuk ditindaklanjuti obat-obatnya di Dokter Keluarga." Kata Saya.
"Kami sudah kasih surat rujuk balik Dokter dan tunjukan obat dari Dokter cocok dan minta disiapkan disana, tetapi jawabannya obatnya tidak ada dan mereka juga tidak mau memberi rujukan baru, alasannya rujukan yang lama masih aktif...."Keluh si Kakek.
"Mulai 2018 ini, Kek. Semua Pasien BPJS Kesehatan itu harus diutamakan ke Dokter Keluarga. Rumah Sakit hanya sebagai rujukan untuk menegakkan diagnosis dan mencari obat yang cocok. Jadi, tidak boleh lagi rumah sakit menjadi tempat mengambil obat yang tidak ada persediaannya disana. Lagipula obat-obatan saya kemarin sebenarnya tidak mahal, cuma memang ada racikan yang saya sudah kasih tahu dosisnya..."Kata Saya.
Akhirnya dengan berat hati satu keluarga besar itu pulang dengan kecewa dan dua hari kemudian berhasil datang kembali dengan rujukan baru, nomor rujukan baru, diagnosis rujukan baru dan tanggal yang baru (seringkali kalau tidak jeli, diagnosis dan tanggal rujukannya beda, tetapi nomor rujukan dari FKTP masih yang lama, ini secara administrasi masih dianggap rujukan lama yang sudah kadaluarsa).
Sebenarnya, kalau kasusnya sulit dan obatnya belum ketemu-ketemu mana yang cocok, Pasien diagnosis non kronis dapat 2,3 bahkan 4 kali berobat dalam sebulan di rumah sakit tipe D atau C, asal indikasi kontrol ulang jelas dan obatnya jelas ada perubahan. Bila perlu dirujuk ke rumah sakit tipe B atau A kalau kasusnya memang sangat sulit.
Tetapi kalau misalnya diagnosisnya sudah jelas, gastritis kronis dan sesudah kontrol 1 kali lagi diberi 3 obat untuk penyakit itu pasien sudah membaik, apa yang dilakukan? Seharusnya ketiga obat yang harus dimakan 2 bulan itu disiapkan oleh FKTP dan tidak harus diambil di rumah sakit lagi. Masalahnya kalau obat itu agak mahal dan lama pula pengobatannya, FKTP merasa sulit mengatasinya sementara di Rumah Sakit juga tidak dapat memberi 1 bulan, mengingat obat gastritis kronis tidak termasuk 10 penyakit yang dapat dikroniskan.
Untuk pasien ini terjadi dilema antara si pasien diberikan rujukan baru terus menerus tiap minggu atau disediakan obatnya sendiri di FKTP selama minimal 1 bulan. Sebab dari surat edaran diatas, jelas dikatakan bahwa rujukan hanya berlaku 1 kali dengan diagnosis dan tujuan yang sama, tujuan ini termasuk diantaranya mendapat obat dengan nama dan jumlah yang sama.
Sulitnya, memang surat ini tidak semua FKTP menerima dan di aplikasi BPJSK pun rujukannya tetap aktif 1 bulan, walau sudah Saya kembalikan si Pasien ke FKTP, jadi secara "online" memang masih berlaku. Apalagi peserta BPJS Kesehatannya, yang kakek-nenek dan keluarga besarnya ikut kontrol dan dari kampung yang jauh pula, mana mengerti surat menyurat. Mereka tahunya ada hak yang seharusnya didapat karena kewajiban mereka membayar premi sudah dijalankan.
Inilah realita terkini rujukan BPJS Kesehatan setelah 4 tahun. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama mau tidak mau harus lebih diberdayakan bila perlu menyerupai rumah sakit mini dengan fasilitas yang hampir lengkap dan kalau perlu diberi dana khusus bila mampu melakukannya. Lalu yang tidak mampu memberdayakan diri bagaimana? Lambaikan tangan ke kamera?