"Kakek waktu dikasih rujukan ini meminta atau dikasih?"Tanya Saya penasaran pada Pasien lelaki, sepuh usia 75 tahun yang sejak muda rajin olahraga tenis lapangan, pengakuannya.
"Saya minta rujukan, Dok. Karena dokternya mau meresepkan obat anti sakit pinggang yang sudah biasa saya minum, tetapi tidak mempan lagi. Saya dulu rajin main tenis dan jarang sakit begini, makanya langsung minta rujukan saja, karena mau diperiksa lebih lengkap."Akunya.
Dia juga menjelaskan diperiksa asam uratnya di 5,3, termasuk normal dan gula darahnya dibawah 200 md/dL. Sebagai mantan olahragawan, dia tahu masalah utama dia adalah sendi, otot dan tulang belakangnya, makanya dia mau pemeriksaan lebih memuaskan.
"Saya lakukan CT-Scan ( Computed Tomography Scanning)tulang belakang pinggangnya, ya, Kek. Mungkin ada saraf terjepit, pengapuran, tulang bergeser atau takutnya ada tumor tulang. Saya kasih obat antinyeri yang kurang mengganggu ginjal dan lambung, nanti hasil pemeriksaannya berikan ke dokter keluarganya, ya, dan minta tolong dia baca diagnosisnya, apa tidak salah buat..."Kata Saya, kebetulan mulai 1 Januari 2018 di Palembang rujukan yang bersifat tidak kronis hanya dapat dipakai 1 kali saja untuk diagnosis yang sama.
"Memangnya itu diagnosis Saya di rujukan apa, Dok?"Tanyanya penasaran.
"Itu diagnosisnya: "Other abortion incomplete..." istilah bahasa Indonesianya, keguguran lain-lain tidak lengkap. Padahal Kakek laki-laki dan usianya sudah 70-an.."Saya tersenyum dan si Kakek tertawa ngakak, sejenak melupakan nyeri pinggangnya.
"Aduh, Dok. Lucu juga, ya. Saya tidak mengerti juga, sih. Yang mencetak rujukan itu bagian administrasinya, mungkin salah baca. Kalau Saya mengerti, pasti sudah minta ganti diagnosisnya...."Lalu si Kakek permisi sambil geleng-geleng kepala.
Sekilas ini sederhana, tetapi terkadang merepotkan, karena ada rumah sakit rujukan yang peraturan internalnya agak ketat, kalau diagnosisnya tidak sesuai dengan spesialisasinya, maka si pasien akan ditolak dan harus memperbaiki rujukannya dahulu. Kalau misalnya dokter keluarga atau puskesmasnya dekat dengan rumah sakit sih enak. Tetapi kalau jauh? Rumah sakit kami sering mendapat rujukan dari kabupaten yang jauh perjalanannya 3-4 jam kalau tidak macet. Kalau macet bisa 4-6 jam.
Jadi, apa yang harus dilakukan oleh peserta bila menerima rujukan? Sama saja kalau menerima obat di farmasi, sebaiknya rujukan itu dibaca ulang oleh dokternya apakah sudah benar. Kalau misalnya bagian administrasi salah pencet kode diagnosis dan muncul istilah-istilah aneh, sebaiknya diperbaiki, karena dapat menjadi kesalahan prosedur yang mungkin hanya berefek lucu-lucuan di rumah sakit tertentu tetapi dapat saja ditolak mentah-mentah di rumah sakit lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H