Menikah resmi menurut saya adalah menikah yang tercatat di negara, kalau muslim di KUA sementara saya yang Kristen mencatatkannya di Kantor Catatan Sipil dahulu 5 Juli tahun 2003.
Di luar negeri, misalnya Singapura, banyak pasangan hanya menikah resmi di Catatan Sipil tokh,selesai. Tanpa perayaan? Why not? Komitmen tidak perlu dirayakan, hanya perlu disuratkan, bukan?
Kalau mau dirayakan apakah harus mahal? Itu sangat relatif, tergantung kemana pernikahan itu akan dibawa, hanya milik keluarga kecil, keluarga besar, keluarga adat atau ke seluruh dunia?
Bagi orang Batak, pesta pernikahan itu sebaiknya diadati dan ini harus lengkap unsur-unsur adatnya, harus ada Tulang Suhut (saudara lelaki dari ibunya Bapak mempelai), Tulang Rorobot (saudara lelaki dari ibunya ibu mempelai), Hula-hula Suhut (saudara lelaki dari ibunya mempelai), Hula-hula na Tinodohon (saudara lelaki dari istri-istri semua saudara lelaki ayah mempelai pria), Hula-hula Anak Manjahe (saudara lelaki dari istri anak lelaki lain ayah si mempelai pria), Dongan Tubu (satu marga), Boru (wanita yang satu marga dengan ayah mempelai pria), Bere (orang yang ibunya semarga dengan ayah mempelai pria), Ibebere (anak dari bere). Ada ritual memberi ulos dari Ulos Pacamot, Ulos Herbang, Ulos dari tulang, dll.
Apakah ini harus mahal? Sangat relatif, bisa mahal kalau yang diundang sangat banyak tiap unsur adatnya atau bisa relatif murah kalau yang diundang sedikit.
Banyak atau sedikit undangan ini dirapatkan oleh orang Batak dalam sebuah acara adat yang namanya Martonggo Raja, biasanya disesuaikan dengan kemampuan finansial pengantin.
Walaupun belum ada media sosial sejak jaman dahulu, namun dengan melibatkan banyak unsur di adat Batak merupakan salah satu upaya "memviralkan" sebuah pernikahan, tidak boleh ada yang terluput dari perhatian dan "jatah adat" tiap unsur harus diberikan. Jadi, pernikahan orang Batak yang pakai adat tidak mungkin diam-diam atau dibawah tangan, karena harus semua orang tahu dan menyebarkannya kemana-mana.
Inilah yang menyebabkan orang Batak sangat sulit bercerai secara adat, karena untuk "memulangkan" seorang istri ke keluarga besarnya resmi memerlukan acara adat yang sama "menjelimetnya" mengundang unsur-unsur yang terkait tadi. Disamping itu, kalau seorang lelaki menyia-nyiakan istrinya, maka sekelompok marga akan sangat tersinggung dan dapat memberikan sanksi padanya.
Saya pribadi lebih suka kalau pernikahan itu heboh dan "viral" walaupun tidak mahal-mahal amat, karena pernikahan yang banyak orang tahu, lebih mudah diingatkan oleh banyak orang kalau mulai goyah. Karena pernikahan yang dibawah tangan pun bisa berharga 20 milyar, kalau si wanita bawah tangan minta emas kawinnya apartemen mewah. Betul, enggak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H