Demam tifoid maupun paratifoid masih merupakan penyebab demam yang paling sering didiagnosis di Indonesia dan negara berkembang lainnya di Asia.Ini dikarenakan tingkat kebersihan pribadi dan lingkungannya masih kurang.
Penelitian tentang pemilihan antibiotik untuk jenis demam ini sangat banyak, karena antibiotik baru banyak dihasilkan dan ingin dibandingkan dengan antibiotik 'pilihan' yang selama ini dipilih kloramfenikol. Hasil penelitiannya kurang lebih sama, perlu pengobatan antibiotik lama sekitar 1 sampai 2 minggu untuk membuat hasil kultur tifoid negatif dari yang tadinya positif.
Dalam simposium Tropik Infeksi di Jakarta tanggal 22 Oktober lalu, salah satu pakar melaporkan bahwa jenis antibiotik fluoroquinolon disingkat FQ, walaupun masih membutuhkan waktu yang sama untuk menghilangkan kuman, namun lebih cepat menghilangkan keluhan demam, yang tadinya seminggu menjadi tiga hari.
Nah, di era BPJS Kesehatan, kalau pasien tidak demam dan banyak keluhan lagi, maka sudah dapat dipulangkan. Sebenarnya demam tifoid itu sendiripun hanya dirawat kalau indikasi rawatnya jelas, misalnya demam sangat tinggi, tidak mau makan dan muntah atau diare sampai dehidrasi berat atau ada komplikasi yang menyerang otak dan merobek usus halus.
Walaupun obat antibiotik pilihan untuk tifoid masih ditetapkan kloramfenikol (ini kalau ujian di FK harus jawabannya itu), namun bagi dokter di rumah sakit yang merawat pasien BPJS Kesehatan, penelitian ini dapat menjadi dasar untuk memakai FQ, karena salah satu 'unit cost' yang besar di perawatan adalah tarif tempat tidur yang disebut 'length of stay (LOS) '.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H