Ilmu kedokteran itu adalah ilmiah dan seni ('art and science'), dimana ada hal-hal yang perlu cita rasa dan subyektifitas tersendiri untuk masing-masing kasus.
Intinya setiap kasus dilakukan pendekatan sedapat mungkin 'tailor made' dari anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, tatalaksana dan prognosis atau ramalan medis ke arah mana kasus ini akan berlabuh.
Proses pelayanan medis dari awal yang melibatkan keluarga pasien secara terdokumentasi, sebaiknya menunggu keluarga pasien dalam kondisi tenang, rasional dan bukan dalam keadaan panik dan emosional.
Terutama untuk membahas 'prognosis' dimana selain kemampuan dokter dan rumah sakit untuk kasus yang serupa, juga harus memperhatikan profil sosial ekonomi dan pendidikan si pasien dan keluarga. Apakah semua kemampuan rumah sakit yang dari A sampai Z dengan biaya setinggi nada 'do' sampai 'si' dapat disampaikan ke keluarga dengan sosial ekonomi level C dan tangga nama 'mi'.
Mungkin saja semua dapat disampaikan ke keluarga terus terang bila dalam kondisi lapang dada dan mau memikirkan kepentingan rumah sakit sebagai sebuah badan usaha, tetapi kalau saat emosional, maka penyampaian prognosis yang terlalu gamblang bisa jadi bumerang.
Bila nanti terjadi kehebohan, lalu diaudit proses pertolongan pada si pasien sejak awal sampai terapi sudah benar, maka yang terjadi adalah kesimpulan akan salahnya komunikasi mengenai 'prognosis' yang ditanggapi emosional oleh keluarga pasien yang mungkin 'kadung' tersebar di media sosial, yang cenderung menganggap rumah sakit pihak yang salah.
Padahal semua bisa dicegah dengan berbicara baik-baik dengan keluarga pasien saat sudah tenang, tahu berat kasusnya, tahu apa yang bisa dilakukan rumah sakit kalau kondisi kedaruratan sudah lewat dan konsekuensinya buat keluarga.
Terus bagaimana kalau keluarga pasiennya emosional terus dan tidak rasional-rasional? Ya apa boleh buat, dokter IGD (instalasi gawat darurat) harus melapor dokter spesialisnya dan melaporkan ke manajemen supaya segera dilakukan rapat koordinasi untuk kasus tersebut bagaimana penyelesaiannya supaya jangan terjadi miskomunikasi yang lebih parah lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H