Liburan ke luar negeri di satu sisi membuat bersemangat dan bahagia yang sulit dikisahkan pada orang yang belum punya kesempatan melakukannya, namun di sisi lain memiliki beban tersendiri saat pulang untuk menghadapi pertanyaan yang meresahkan, "Oleh-olehnya mana?"
Oleh-oleh atau kenang-kenangan terkadang dianggap remeh oleh si pelancong, namun bisa jadi membuat masalah tersendiri di lingkungan pertemanannya, di mana yang tidak diberi oleh-oleh akan merasa tersinggung sementara teman yang lain diberi. Kepalangan semua tidak dikasih atau semuanya dikasih.
Permasalahannya, benda-benda aksesoris yang kita bawa dari luar negeri ini memiliki beban tersendiri baik dari sisi berat, volume dan biaya. Misalnya baju kaus oblong dengan kata-kata 'I love Paris', ukuran S saja dibandrol harga sekitar 12 euro sebuah dirupiahkan kalikan saja 16 ribu. Kalau yang XL lebih mahal lagi, bisa 18 euro tidak mau ditawar. Padahal, kalau kita lihat label di belakang bajunya, terdapat tulisan 'made in China'. Baju asli buatan Paris, biasanya di kisaran 2 jutaan rupiah yang bermerk.
Kalau membawa oleh-oleh pembuka botol seperti di atas, harganya paling murah 1 euro setara 16 ribu dan gantungan kunci dari aluminium miniatur menara Eiffel seperti diatas, dapat 3 per 1 euro. Bayangkan kalau teman kita 50 orang saja, berapa dana yang harus digelontorkan membelinya dan apakah koper kita cukup untuk membawanya.
Saya pribadi punya pengalaman membawa oleh-oleh yang relatif disukai teman-teman walaupun harganya relatif murah ataupun gratis, yaitu uang recehan logam dari negara yang dituju serta buku promosi atau petunjuk wisatawan.
Uang receh, berupa kembalian kalau kita berbelanja di toko setempat. Sengaja saya cari kembalian receh kalau bisa dengan nominal yang terkecil, misalnya 5 sen, 10 sen, ini dapat dijadikan cendera mata juga bagi yang suka mengoleksi mata uang asing. Kalau mau dapat uang kertas yang nilainya besar, misalnya 100 euro atau 50 euro, akan sangat mudah didapat di Indonesia, tetapi kalau mau dapat recehan, kita harus asli belanja disana dan mengumpulkan kembaliannya.
Terakhir buku-buku promosi wisata dan petunjuk berwisata di kota tujuan kita. Barang ini dengan kualitas cetak sangat baik ternyata dibagi-bagikan gratis di bandara atau pusat informasi turis. Saya sempat ambil 10 dan saat diperiksa di 'scanner' tidak ditanya. Apalagi buku saku wisata, boleh ambil berapapun, karena memang tujuannya untuk dibagi-bagi, tetapi yang bagiin tidak ada.
Beberapa teman dokter malah suka buku tersebut dan menjadi punya semacam bahan acuan kalau-kalau ada kesempatan melancong ke tempat yang sama.
Nah, ini semacam strategi saya pribadi mengurangi 'beban' oleh-oleh secara finansial, mudah-mudahan dapat dipertimbangkan walau harus sedikit tega mengambil buku-buku panduan wisata tersebut, tetapi pada prinsipnya memang itu boleh untuk promosi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H