Lihat ke Halaman Asli

Posma Siahaan

TERVERIFIKASI

Science and art

Kalau Paslonku Kalah, Aku Pindah dari Jakarta?

Diperbarui: 14 April 2017   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ini pernyataan yang banyak diucapkan pendukung fanatik salah satu paslon sangkin tidak maunya dipimpin oleh paslon saingannya. Apakah kalimat itu wajar? Walau terlihat ekstrim tetapi bukanlah hal baru. Banyak selebritis di Amerika yang malah berjanji akan mengganti kewarganegaraan dan pindah negara kalau Trump menang dan saya belum dapat informasi berapa orang yang benar-benar merealisasikan janji atau sumpahnya tersebut.

Sebenarnya kalau melihat posisi Jakarta, maka judul diatas itu sebenarnya tidak sulit dilakukan, karena:

1. Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok nyaris sebenarnya tidak terpisahkan oleh hutan atau jurang ataupun laut yang luas. Antar perbatasan semuanya gedung ada, nyaris bisa didapati di perbatasan dua tetangga bisa saja berbeda wilayah administratif. Jadi kalau tidak suka dipimpin paslon seberang yang jadi pemimpin daerah DKI Jakarta, tinggal pindah ke salah satu kabupaten di dekatnya tanpa harus pindah kerja, pindah sekolah atau pindah tempat 'ngegym'.

2. Tidak semua yang berKTP DKI masih tinggal di DKI. Saya pernah berbincang dengan seorang supir taksi yang saat pilkada putaran I memilih, tetapi rumahnya sudah di Bekasi. Dia KTP DKI waktu dulunya bapaknya masih ada rumah di sekitaran ancol. Jadi, kalau dia malas dipimpin yang berseberangan, tinggal pindah KTP, karena pada dasarnya dia memang rumahnya sudah di Bekasi.

3. Sebenarnya ini yang terpenting, gubernur itu ataupun walikota, bupati, camat, lurah atau presiden sekalipun sudah 'kadung' dinamai pimpinan daerah, pimpinan negara padahal sebenarnya mereka adalah pelayan publik. Bila yang anda pilih adalah pelayan yang anda tidak sukai, sebenarnya malah enak disuruh-suruh dan dimarahi tanpa sungkan. Kalau pelayan yang didukung adalah yang anda puja-puja, malah tidak enak memprotesnya kalau kerjaannya tidak becus. Jadi, anggaplah dia pelayan anda dan kalau yang terpilih yang tidak disukai, maka rajin-rajinlah merewelinnya asal dengan bukti-bukti yang tidak terbantahkan.

Maka, sebaiknya kalimat diatas bila toh terucap, karena emosi, masih bisa diralat, apalagi sebagai pengawas program kerja, maka masyarakat berhak mengkritik habis-habisan karena gaji para pimpinan daerah pada dasarnya dari pajak kita juga. Walaupun gaji gubernur dan wakilnya cuma sekitar 4-10 juta, namun aksesnya untuk membagi-bagi kue APBD yang puluhan trilyun itulah yang membuat pengusaha yang uangnya ratusan milyaran sampai trilyunan pun mau nimbrung. Yakinkan sebagai warga, kue pembangunan yang puluhan trilyun itu tidak tersebar ke barang dan jasa yang 'dimark-up' dan banyaklah dipakai untuk kegiatan yang sudah diaudit, perjalanan dinas yang lucu-lucu atau sumbangan ke kelompok-kelompok tidak jelas.

Tugas warga negara, masyarakat biasa yang tidak ada akses ke APBD adalah mengawasi dan mempertanyakan, di media sosial bisa langsung dipertanyakan misalnya pelatihan yang katanya 7 hari tahunya dilaksanakan 2 hari. Genset yang anggarannya 5 milyar misalnya tahunya dibeli genset bekas yang 100 juta atau pembangunan rumah ibadah yang biasa tapi anggarannya 1 trilyun.

Jadi, masih mau pindah? Ke Palembang saja, disini PILKADAnya masih adem ayem saja dan belum ada yang mengancam pindah kalau kalah, karena kabupaten di sekitarnya masih dibatasi dengan hutan karet, sawit yang luas dan kalau pindah, maka harus benar-benar berubah total kehidupan sosialnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline