Lihat ke Halaman Asli

Posma Siahaan

TERVERIFIKASI

Science and art

Debat Pilkada itu Mirip Dengar Pendapat di Pemerintahan

Diperbarui: 5 April 2017   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Debat pilkada seyogyanya hanyalah adu gagasan dan program dari calon-calon pemimpin. Namun sampai di Amerika Serikat pun, masalah pribadi tetap bisa menjadi konsumsi debat, karena untuk menjatuhkan lawan perlu menjatuhkan mental si calon yang masa lalunya mungkin 'cacat'.

Format debat bisa jadi menguntungkan salah satu calon kalau pihak yang menyelenggarakan memihak salah satu calon dan dapat saja pihak yang merasa dirugikan meminta bentuk acara diubah untuk memberikan keadilan.

Namun, kalau dipikir-pikir, debat pilkada itu adalah salah satu bentuk seorang calon pemimpin menunjukkan kesiapannya memimpin dan mempengaruhi orang, mempertahankan programnya dan kalau perlu 'menyerang habis-habisan' lawan politiknya dengan data-data yang tak terbantahkan.

Mirip saat menjalankan pemerintahan, akan ada yang namanya dengar pendapat atau rapat-rapat koordinasi dengan DPRD, kementerian, aparat hukum, KPK, LSM, perwakilan negara asing, perwakilan buruh, perwakilan pengusaha yang biasanya keberatan dengan salah satu program atau kegiatan yang dilakukan oleh si kepala daerah dan mengiginkan adanya penyesuaian atau bila perlu pembatalan sebuah program dan memasukkan program lain atau cara lain sebagai pengganti.

Biasanya yang menjadi senjata pemimpin daerah adalah data dan peraturan-peraturan yang saat itu berlaku, sementara kelompok yang menentang boleh jadi ada data tandingan atau peraturan-peraturan tandingan yang penafsirannnya berbeda. Bila tidak terjadi kesepakatan, maka bisa berlanjut ke pengadilan tata usaha negara atau ke pengadilan biasa.

Di daerah yang banyak politikusnya kritis serta partai politiknya punya banyak kepentingan, maka seorang pemimpin daerah harus siap adu program, adu data dan adu aturan main sesiap-siapnya tanpa harus mengatur format dengar pendapat yang disusun, waktu bicara pun tidak dibatasi, mau 2 menit bergantian atau 100 menit satu orang sampai capek.

Mirip, tetapi malah lebih seru nantinya dengar pendapat dan rapat-rapat lintas instansi yang terbuka untuk wartawan misalnya. Bila seorang kepala daerah memimpin 'adem ayem' saja tanpa ada debat panas di rapat-rapat seperti ini malah menimbulkan pertanyaan, apakah instansi lain di daerah itu sudah 'cocok' dengan program kepala daerahnya 100% tanpa bantahan sangkin sempurnanya itu program atau malah kesepakatan sudah tercapai melalui lobi-lobi dibawah tangan.

Ketidaksiapan debat mencerminkan ketidaksiapan data, ketidaksiapan penguasaan aturan main dan ketidaksiapan mempertahankan konsep. Mungkin pemimpin seperti ini lebih memilih lobi-lobi diluar arena debat nantinya demi kebahagiaan semua orang yang berkepentingan. Dan negara ini sudah banyak dirugikan oleh lobi-lobi seperti ini dan sebaiknya si tukang lobi harus melatih kemampuan debatnya lebih matang karena di pemerintahan yang transparan serta memihak pada kejujuran dan keadilan, harus siap berdarah-darah di debat dan dengar pendapat, sebaliknya lobi-lobi amplop dibuang ke laut saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline