Lihat ke Halaman Asli

Posma Siahaan

TERVERIFIKASI

Science and art

Dahulu, yang Ada Hanya Suster, Belum Ada Dokter

Diperbarui: 21 Juni 2016   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Di Palembang, saat in sedang ramai perbincangan tentang 'postingan' di 'facebook' dari seorang keluarga pasien yang tidak terima dijawab ketus oleh perawat jaga, ketika minta ibunya dibersihkan BAB-nya."Kalau tidak suka, pindahlah ke rumah sakit lain." Kurang lebih begitu kalimat si perawat yang membuat tersinggung.

'Postingan' itu di-'share' beruntun dan yang komentarpun lebih ratusan. Kebetulan teman saya adalah teman si keluarga pasien dan tulisannya nongol di 'wall FB' saya.

Syukurlah ada pihak rumah sakit di tempat ibu tersebut dirawat yang 'merespon' tulisan itu lalu menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan, lalu esoknya si pembuat postingan, perawat yang dikeluhkan dan si mediator pun memposting foto bersama sambil tersenyum di 'FB'.

Masalah selesai? Bisa jadi, tetapi ternyata profesi perawat itu tidak boleh ketus, mengapa? Karena pada merekalah si sakit 24 jam tergantung hidupnya.

Berkaca dari rumah sakit kami yang dirintis oleh 5 suster dari Belanda, yang merintis pelayanan rumah sakit di Palembang awal abad 20, saat itu dokter belum ada. Prinsip yang ditanamkan para suster bukanlah ketepatan terapi, tetapi bagaimana melayani dengan baik dan ramah sesuai keluhan pasien dengan obat-obat penghilang gejala.

Pada prinsipnya, perawat itu adalah suster ('sister') yang bisa diartikan sebagai saudari, tempat bertanya, minta tolong dan diperhatikan.

Kesal boleh, tetapi sebaiknya jangan spontan diumbar di depan pasien dan keluarga. Saya yakin ini memang sulit, tetapi memang profesi perawat haruslah merupakan pilihan hidup, karena asal katanya adalah 'suster atau sister atau saudara perempuan', dia harus mengalah, melayani dan tidak boleh capek (di depan pasien).

Kalau sudah keceplosan ketus tidak ada salahnya minta maaf, karena kalau sudah masuk media sosial, tidak enak ngetopnya, walaupun untuk berdamai tidak sesulit politisi kalau adu mulut di 'medsos'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline