Seorang dokter umum honorer pernah meminta pendapat di salah satu grup dokter di 'facebook' yang intinya menanyakan apakah dia berhak mendapat bagian dari dana jasa medis sebuah asuransi yang pasiennya dia layani, karena pimpinan institusinya menyatakan tidak dibagi, sebab dia hanyalah honorer.
Banyak tanggapan dari teman sejawat, ada yang bilang harusnya dapat,ada yang beranggapan tergantung kebijakan si pimpinan dan saat ditanya apa perjanjian kerjanya sebagai honorer? Dia hanya diberi hak uang bulanan 1,5 juta. Selesai. Jadi kalau institusinya ada dana dari asuransi tertentu yang pasiennya banyak, perjanjiannya tetap 1,5 juta sebulan.
Kasus kedua ada teman saya spesialis mau menjadi tenaga tidak tetap (PTT) di sebuah rumah sakit dengan gaji 3 juta sebulan. Dia dianggap 'fulltime' walau statusnya tidak tetap. Tetapi karena kebutuhan pelayanan, rumah sakit itu mengajak kerja sama 3 spesialis lain dengan status 'spesialis tamu' dan perjanjiannya adalah jasa medis pertarif layanan. Maka 'si tamu' bisa saja sebulan gajinya hanya nol rupiah kalau tidak ada pasien, tetapi bisa gajinya 20 juta sebulan jika pasiennya 200 orang. Teman saya pun 'kecele' hanya tetap menerima 3 juta sebulan dan meminta berhenti lalu pindah ke rumah sakit lain yang pembayarannya lebih bisa diterima.
Dari kedua kasus itu, tampaknya para dokter banyak yang kurang hati-hati membaca perjanjian kerja dan tata cara pembagian jasa medis di institusinya. Yang penting kerja dulu di tempat yang 'bonafide', urusan jasa medis nanti diurusi belakangan. Sesudah berjalan, dirasakan perbedaan antara sesama sejawat, timbul kecemburuan. Padahal, bisa saja 2 orang dokter di sebuah institusi dibayar dengan cara berbeda, satu sistem 'borongan', sementara yang lain sistem 'fee for service'.
Manajemen sebuah institusi memang harus punya strategi bagaimana menggaji karyawannya, yang 'skillfull' dan sangat perlu dipertahankan, maka gajinya ada 'minimal/ waranty fee', sementara yang 'skill-nya' tidak terlalu dibutuhkan akan dibayar 'borongan' atau malah sebatas 'UMR' propinsi.
Maka dari itu, cobalah ke sekretariat institusi kesehatan tempat bekerja dan pelajari lagi perjanjian kerja dan pola penggajiannya, apakah sudah tidak sesuai dengan harapan dan bukalah ruang untuk 'negosiasi ulang'.
Tetapi kalau malah tidak ada perjanjian kerja sama sekali ataupun tidak ada keterangan bagaimana cara membagi jasa medis, itu kesempatan baik untuk memulai 'negosiasi' bila perlu melibatkan serikat buruh atau departemen tenaga kerja setempat.
Semoga demikian, tidak ada lagi yang bertanya tentang hak-haknya ke dunia maya atau curhat ke teman sejawat lain, padahal dengan pimpinannya sendiripun ternyata memang belum ada kesepakatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H