[caption id="attachment_328856" align="aligncenter" width="506" caption="Ilustrasi- Tensi darah (Shutterstock)"][/caption]
"Tangan kanan dan kaki kiri lemah, kesemutan dan kadang nyeri, dok. Jalan mulai 'kencot' dan mulut juga mencong sudah satu minggu."Lapor si ibu umur 50-an yang ngotot tetap mau rawat jalan walaupun sudah disampaikan sudah mulai 'stroke'.
"Harus banyak pemeriksaannya, bu, rekam jantung 'echocardiography', kolesterol, 'ultrasonography. Kalau tidak ada darah tinggi tetapi mendadak tinggi bisa-bisa ada kelainan di ginjal, jantung dan lain-lain. Atau ada pecah pembuluh darah sehingga perlu 'CT-Scan' otak."Bujukku.
"Ini pasti salah periksa, saya di tempat praktik dekat rumah biasa darahnya 120 terus, kok."Katanya tidak terima, karena selama ini dia periksa di mantri desa dibilang baik-baik saja, hanya pusing kecapekan.
"Waktu diperiksa tekanan darahnya, ibu lihat alatnya tidak?"Tanyaku.
"Lihat, dok. Petugas kesehatannya pencet-pencet pompanya sampai angka 120 terus dia turunkan klep pompanya."Katanya lagi.
"Pernah dipencet pompanya sampai batas 300 di atas, gak?"Tanya saya.
"Gak pernah, karena katanya tekanan darah saya biasa 120-130 saja."Katanya lagi.
Lalu saya pun menjelaskan tekanan darah itu ada batas atas sistole dan batas bawah diastole. Seharusnya semua tenaga kesehatan memompa alat pengukur darah sampai batas atas maksimal baru menurunkannnya lagi ke bawah.
Jadi, selama ini tekanan darah yang diperiksa ke ibu ini adalah batas bawahnya, sedangkan batas atasnya mungkin sekitar 200-an mmHg.
"Wah, pantasan saya 'stroke', berarti saya kurang teliti dan petugasnya juga kurang teliti."Katanya kesal.