Oleh St. Johnson Dongoran
Aku bersyukur atas pekerjaan baik yang Tuhan berikan bagiku sehingga aku dan keluarga hampir-hampir tidak pernah mengalami dan merasa kekurangan. Bahkan Tuhan memberi kesempatan bagiku dan keluarga mewujudkan sejumlah impian kami mengunjungi beberapa tempat bersejarah dan menarik di berbagai belahan dunia. Namun dalam keberhasilan hidupku tersebut, ada satu hal yang terus merisaukan hatiku, yaitu pandangan negatif ibuku terhadap orang Jepang. Ayahku tidak separah ibuku. Mungkin karena ayahku seorang guru, yang suka membaca dan mengikuti berita terbaru tentang berbagai aspek kehidupan sehingga memahami perkembangan dan dapat mengubah pandangannya yang tadinya negatif menjadi positif atau paling tidak neteral atas sesuatu. Pandangam ibuku negatif terhadap orang Jepang beralasan mengingat kekejaman serdadu Jepang di masa penjajahan antara 1942 hingga 1945, yang menghilangkan nyawa ke dua orang tua ibuku saat itu. Hingga kini, ibuku masih sering bilang: “Mungkin dapat dimaafkan tetapi tidak dapat dilupakan”.
Suatu sore aku berbincang berdua dengan istriku tentang hal ini. Istriku memberi gagasan cemerlang: “Kita bawa ibu dan bapa jalan-jalan ke Jepang. Kau cari informasi tentang tempat-tempat penting yang dapat mengubah pandangan ibu tentang orang Jepang. Kita cari waktu yang tepat untuk mewujudkannya”, katanya. Aku segera membuat rencana perjalanan keluarga ke Jepang. Ayah dan ibu tidak kaget ketika kuberitahu akan jalan-jalan bersama, karena hal seperti itu sudah biasa bagi kami beberapa tahun terakhir. Seperti biasa, ibuku tidak pernah bertanya ke mana. Nanti sesudah di Negara tertentu baru ibuku bertanya: “Di dia do hita nuaeng?” (Di Negara mana kita sekarang?”). Kami mendarat di Osaka Airport pada malam hari sesudah melakukan perjalanan Jakarta – Hong Kong – Osaka. Ibuku tidak bertanya kami ada di mana, tetapi memastikan saja. “Di Jepang do hita saonari?” (Apakah kita kini berada di Jepang?”). Aku mengangguk ke arah ibuku dan tersenyum. Bagian imigrasi melayani kami dengan baik, sopan dan ramah. Ibuku berkomentar: “Nga burju be hape halak Jepang saonari” (“Baik rupanya orang Jepang sekarang ini”). Aku memandang ibuku dan tersenyum. Hal yang sama kulakukan pada istriku. Aku bersyukur dalam hati: “Terima kasih Tuhan, Engkau mau mengubah pandangan ibuku tentang orang Jepang”.
Di penginapan ibuku mengemukakan pandangannya yang sudah mulai berubah tentang orang Jepang setelah melihat dan menikmati pelayanan prima dan keramah tamahan orang Jepang di imigrasi dan di restoran ketika kami dalam perjalanan dari Airport ke hotel. Aku semakin yakin atas keberhasilan gagasan istriku. Walau demikian, dalam doa istriku ketika kami mau tidur jelas memohon kepada Tuhan agar apa saja yang kami akan tunjukkan kepada ayah dan ibuku adalah sesuatu yang benar-benar dapat mengubah pandangan ibuku tentang orang Jepang, dan agar ibuku dapat tenteram di masa tua, tidak dihantui pengalaman pahit ketika masa kecilnya karena ke dua orang tuanya direnggut oleh serdadu Jepang, serta tidak ada lagi ganjalan di hati sedikit pun, tetapi dapat memaafkan dan melupakan pengalaman pahit tersebut.
Selama di Jepang, kami membawa ibu dan ayahku menikmati pemandangan indah dan tempat rekreasi seperti Nara, panorama pegunungan Arashiyama di Kyoto, dan berbagai peninggalan serta alam yang indah di pulau Miyajima, mengunjungi museum dan tempat-tempat bersejarah di Hiroshima. Kami mengajak mereka menggunakan aneka transportasi seperti bus, kereta api cepat Sinkansen, dan subway. Kami mengunjungi panti bagi orang cacat mental di Ichioyen, kehidupan nelayan dan pasar tradisional di Akashi, pasar modern Harbor Land di Kobe. Kami juga kunjungi peninggalan raja-raja seperti Osaka Castle, Himeji Castle, Itsukushima Shrine di Miyajima, dan Kiyomizu Temple serta The Temple of the Golden Pavillion di Kyoto. Tidak lupa juga kami nikmati modernisasi kemajuan teknologi di Universal Studio di Osaka. Kami mengusahakan agar terjadi saling tindak langsung ayah dan ibuku dan berbaur dengan orang kebanyakan di Jepang.
Aku memperhatikan bagaimana ibuku bereaksi ketika ia diberi tempat duduk di subway oleh pemuda atau pemudi Jepang. Awalnya ibuku sungkan, tetapi aku bilang padanya bahwa hal itu biasa, di mana yang muda memberi tempat duduk kepada yang lebih tua sebagai wujud rasa hormat mereka kepada orang yang lebih tua. Kuperhatikan juga bahwa ayah dan ibuku menikmati lagu-lagu yang dilantunkan pramuria ketika kami naik bus dalam perjalanan. Ibu dan ayahku senang ketika ada remaja putri Jepang mengajari mereka membuat burung merpati dari kertas (origami = seni membuat burung dari kertas) selama di kereta api dalam perjalanan dari Osaka ke Hiroshima. Ibuku menangis dan terharu ketika meletakkan merpati kertas (origami) di patung seorang anak, yang tewas akibat radiasi bom atom, di Peace Memorial Park Hiroshima. Ibuku juga meneteskan air mata ketika kami berkeliling melihat berbagai kepingan sisa-sisa peninggalan perang di Hiroshima Peace Memorial Museum. “Betapa kejam perang bagi umat manusia”, gumamnya.Sebaliknya ibuku kagum atas kasih sayang manusia yang memperlakukan dengan baik banyak rusa di tempat wisata seperti Nara dan Miyajima. Masih banyak yang ibuku kagumi dari perjalanan kami yang singkat sekitar dua minggu di Negara Sakura tersebut.
Ketika kami mengikuti kebaktian di salah satu gereja di Nishinomiya, ibuku diberi kesempatan menyampaikan kesaksian. Ibuku bicara dalam bahasa Batak, aku terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan kemudian seorang temanku berkebangsaan Jepang menterjemahkannya ke dalam bahasa Jepang. Ibuku biasa berbicara di depan umum. Walau di dalam acara adat ibuku jarang berbicara (karena selama masih ada suami, tidak ada kesempatan bagi istri bicara dalam adat Batak), tetapi ibuku merupakan penasehat terbaik bagi ayahku dalam hal adat. Karena terbiasa mengikuti acara adat, ibuku paham betul bertutur kata dengan sopan santun. Ibuku sangat piawai mengungkapkan kesannya yang tidak positif selama bertahun-tahun tentang orang Jepang dan perubahan pandangannya terhadap orang Jepang setelah berada dua minggu di Jepang. Aku jadi agak kesulitan mengungkapkannya dalam bahasa Inggris yang benar dan tepat. Secara khusus ibuku berterima kasih kepada istriku yang mengajak ke dua orang tuaku mengunjungi Jepang, yang memungkinkan mengubah pandangannya tentang orang Jepang.
Ibuku mengahiri kesaksiannya dalam bahasa Jepang yang aku tidak mengerti. Aku kaget juga. Ternyata ibuku bisa mengungkapkan perasaannya dalam bahasa Jepang. Banyak dari yang hadir manggut-manggut mendengar pernyataan ibuku. Setelah mendapat ijin menyanyikan lagu kenangan serdadu Jepang, ibuku juga menyanyikan satu lagu Jepang, yang bertutur tentang kerinduan serdadu Jepang bagi keluarga ketika mereka berada di Negara yang jauh dari rumah. Banyak jemaat yang meneteskan air mata mendengar syair dari lagu yang ibuku lantunkan. Untunglah Tuhan telah mengubah pandangan ibuku tentang orang Jepang sehingga keseluruhan kesaksian ibuku merupakan persembahan harum bagi Tuhan yang telah mempersatukan kami dari beda bangsa di dalam Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H