Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Irvan Irfan

Penulis dan Aktifis Sosial

Altruistik

Diperbarui: 29 Desember 2020   23:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

( Untuk semua ibu)

Di ujung sebuah jalan setapak, di pinggir kota, ada sebuah gubug kecil. Gubug itu sangat reyot. Kayu-kayu yang membentuknya sudah banyak keropos dimakan rayap. Atapnya juga sudah lusuh. Gentingnya banyak yang sudah pecah dan bolong di banyak tempat. Terbayang apa yang terjadi bila hujan deras turun menimpanya. Gubug kecil itu memiliki hanya satu jendela kecil dan pintu yang sudah lepas dari engselnya. Untuk menutup dan membukanya harus mengangkat sedikit lalu menggesernya ke kanan atau ke kiri. Pintunya pun sudah keropos sana-sini. Lantainya sepertinya dulunya disemen dan sudah gompal di sana-sini sampai kelihatan tanahnya. Masuk ke dalam gubug, hanya ada sebuah dipan tua dengan beralaskan sebuah tikar pandan yang sudah rombeng. Dia samping dipan ada sebuah meja kecil yang dekil dan lusuh.

Dulu gubug kecil itu dihuni seorang ibu dan anak. Mereka hanya tinggal berdua saja. Bu Marni dan anaknya Adi. Suami bu Marni sudah lama meninggal karena sakit yang kronis. Ia sebenarnya punya seorang adik, lima tahun yang lalu adiknya bekerja TKI ilegal di timur tengah. Setelah itu tak ada lagi kabar tentang adiknya tersebut. Sang suami juga punya saudara di kota lain, namun kabarnya keadaanya  tak jauh berbeda dengannya. Untuk menyambung hidup ia dan anaknya sehari-harinya mengumpulkan botol-botol kemasan plastik lalu dijual ke pengepul. Terkadang ia menawarkan jasa mencuci pakaian kepada tetangga-tetangga sekitar.

Gubug itu sudah lama kosong. Bu Marni dan Adi anaknya telah lama pergi meninggalkan dunia. Meskipun mereka berdua sudah tak ada, namun ada kisah dan cerita-cerita yang melekat seputar  mereka.

Sekitar setahun yang lalu.

Di atas dipan terbaring seorang anak kecil kurus. Sebuah selimut rombeng kecil tak bisa menutupi semua tubuhnya. Badanya menggigil. Sejak kemarin malam ia demam. Di sisinya duduk ibunya menemani anak semata wayangnya.  Raut wajahnya diliputi rasa cemas dan risau. Wajar ia cemas dan risau karena adi, anaknya,  adalah miliknya satu-satunya yang paling berharga dan ia sayangi. Sedari semalam ia menunggui dan menjaganya, mengompres keningnya dengan handuk kecil yang dicelupkan ke dalam baskom kecil berisi air dingin untuk mengurangi panas demamnya. Sepanjang malam ia terjaga, memeriksa kening dan lehernya anaknya, kemudian mengompresnya lagi. Demikian ia lakukan itu berulang-ulang.

Marni semakin cemas sebab sampai sinar mentari pagi menerobos ke gubugnya lewat lubang-lubang dinding dan atapnya, panas deman anaknya tidak turun-turun. Anaknya terbangun membuka matanya dan lalu memanggil ibunya, 'Ibu." Suaranya lemah, hampir seperti berbisik, sampai sampai ibunya mendekatkan telinganya, "ya nak." "Ibuu belikan aku obat, aku sudah tak tahan." "Ya nak," ibunya lalu membuka laci kecil meja yang sudah rusak, dan mengambil dompet kecilnya. Ia membukanya dan berbisik dalam hati, "cukup lah buat beli obat." Lalu ia ia menghampiri anaknya dan menyentuh keningnya, " Nak, ibu pergi sebentar ya ke toko obat." Anaknya mengangguk lemah.


Bu Marni berjalan kali bergegas menuju toko obat di pusat kota, sekitar empat kilometer jauhnya. Untuk sampai ke toko obat, ia harus melalui jalan tanah setapak sejauh tiga ratus meter. Di sisi kiri dan kanannya ditumbuhi semak-semak, dan juga beberapa pohon rimbun. Setelah itu bersambung dengan jalan kecil beraspal namun rusak parah, berlubang lubang sepanjang jalan. Di sepanjang jalan kecil itu terdapat beberapa rumah. Bila musim hujan tiba, jalan kecil tersebut lebih mirip di sebut selokan karena hampir tertutupi air yang menggenangi lubang-lubang di hampir sepanjang jalan. Bu marni berjalan hati-hati menghindari lubang-lubang, karena kalau tidak kaki bisa cedera.


Sampailah ia di tepi jalan raya menuju pusat kota. Dua kilo meter lagi ke pusat kota. Bu marni terus bergegas berjalan menyusuri tepi jalan raya. Hanya sedikit ruang tersisa untuk pejalan kaki, sebab di tepi jalan ada selokan besar. Di tambah lagi kendaraan bermotor yang melintas jalan raya jarang yang berkendara perlahan, kebanyakan berkendara dengan kencang. Jadi ia harus berjalan cukup hati hati.


Lebih duapuluh menit sedikit, sampailah ia di pusat kota. Lalu ia menuju pasar kota, di sanalah macam macam toko dan warung menjual aneka ragam barang.  Tepat di sudut perempatan jalan, terlihatlah toko obat yang ia cari. Ia pun bergegas masuk ke dalam toko tersebut. Di dalam toko sudah ada 5 orang yang mengantri. Ia pun menengok kiri kanan, "nah itu ada bangku kosong." Di sudut ruang toko ada bangku kosong. Ia pun melangkah cepat menuju bangku kosong itu.  Rasa lega terpancar dari wajahnya yang kelihatan lelah saat duduk di bangku. Sambil menunggu antrian, ia bisa istirahat sejenak, setelah berjalan kaki sekian jauh. Namun matanya tak lepas dari antrian, takut di salip orang lain yang baru datang. Sepuluh menit berlalu akhirnya ia ke depan etalase dan berkata kepada pegawai toko, "mas beli obat buat demam, anak saya sedari semalam panasnya tinggi dan tidak turun-turun." Pegawai toko menatapnya, dan bertanya, "sudah dibawa ke dokter bu anaknya?"  Bu Marni menggeleng, "belum Mas, saya gak punya uang. Si pegawai toko terus menanyainya lagi, "kan ada BPJS bu? Bu marni dengan cepat menimpali, " gak punya mas, lagian saya takut kena corona kalau ke dokter dan rumah sakit, duh maaf mas, jangan banyak nanya dulu, saya lagi buru-buru, anak saya harus segera minum obat." Si pegawai toko menuruti, "baik bu"  ia pun bergegas mengambil obat yang diminta bu Marni.  "Ini bu obatnya." Bu marni tanpa berkata-kata lagi langsung membayar dengan uang pas dan cepat-cepat keluar dari toko obat tersebut. Sayup-sayup ia mendengar si pegawai toko berkata, "semoga cepat sembuh ya bu anaknya."


Bu Marni kembali menyusuri jalan yang sama, berjalan kaki, kembali pulang. Langkah-langkahnya cepat, hampir setengah berlari. Ia hampir tak menghiraukan lagi kendaraan-kendaraan yang berjalan kencang. Di tengah perjalanan, tak jauh di depan Ia melihat seorang nenek tua menggendong seorang anak perempuan kecil di tepi jalan. Tepat sesaat akan melewati mereka, nenek tua itu mencegatnya dan meratap, " ibu tolong cucu saya, badannya panas sekali. Ia perlu obat, tapi saya tidak punya uang untuk beli obat." Bu Marni kaget dan heran. Perasaan dia saat melewati jalan ini menuju pusat kota, tidak ada nenek-nenek tua yang menggendong anak kecil, "nenek, saya tidak punya uang, tapi saya punya obat, itupun untuk anak saya yang lagi sakit keras." Si nenek tua kembali meratap dengan wajah menghiba, "Tolonglah bu cucu saya ini, lihat lah mukanya pucat sekali." Bu Marni pun menatap wajah bocah kecil yang digendong si nenek tua itu. Ia pun menjadi iba, ia bergumam dalam hati, "duh kasihan sekali bocah ini, mukanya pucat sekali, bila tak segera diobati, bisa-bisa tak tertolong nyawanya." Bu Marni lalu menaruh tangannya di kening bocah kecil itu, " nenek, saya tidak punya uang, saya hanya punya obat untuk anak saya. Bila obat ini bisa menyembuhkan dan menyelamatkan cucu nenek ini, saya ikhlas memberikan obat ini untuk cucu nenek." Bu Marni pun lalu meyerahkan bungkusan berisi obat untuk anaknya kepada si nenek tua. Wajah cemas dan sedih si nenek tua itu pun berangsur-angsur hilang, "Terima kasih banyak bu, semoga Tuhan membalas kebaikan ibu." Bu marni memegang tangan si nenek dengan lembut, "Iya nek, cepat nenek kembali pulang, dan segera obati cucu nenek itu." Si nenek tua sambil menggendong cucunya, bergegas menyusuri jalan setapak. Bu marni memandang mereka, sampai mereka tak tampak lagi, menghilang di balik pepohonan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline