Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Irvan Irfan

Penulis dan Aktifis Sosial

Hak Atas Tanah dan Sumber Dayanya adalah Hak Asasi Manusia

Diperbarui: 7 Maret 2020   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan terakhir ini, Indonesia dilanda polemik Omnibus Law atau RUU Cipta Lapangan Kerja yang diinisiasi oleh pemerintah. RUU ini menjadi pro dan kontra karena banyak kalangan yang menilai RUU ini bila disahkan akan merugikan pekerja, lebih menguntungkan pelaku usaha, pemilik modal. Kontan para pekerja pun ramai-ramai mendemo RUU tersebut. Bahkan mereka memplesetkan RUU Cipta Lapangan Kerja itu menjadi RUU Cilaka.

Namun RUU ini bukan hanya kalangan pekerja yang akan dirugikan, dalam bidang agraria, RUU ini pun akan juga mencelakakan atau merugikan rakyat pedesaan yang miskin, petani kecil, dan masyarakat asli (indigenous people). Omnibus law ini akan lebih banyak menguntungkan para industri, investor dan pemilik modal. Akibatnya, masyarakat sipil akan tereduksi haknya untuk mendirikan bangunan, bercocok tanam, dan hak-hak lainnya.

RUU Cilaka ini bila disahkan akan  melanggar hak asasi manusia atas tanah dan sumber dayanya. Namun isu bahwa akses atas tanah dan sumber dayanya adalah hak asasi manusia yang fundamental  belum mencuat menjadi isu krusial, karena ada hal yang belum tegas, belum eksplisit dan bulat.

Bila kita bertanya kepada seorang pejuang hak atas tanah (Land Rights) apakah ada hak asasi manusia atas tanah, dengan yakin akan berkata " Ya sudah pasti, tak diragukan lagi."  Ya bagi umat manusia tanah adalah sumber pangan, tempat berlindung, dan tempat untuk hidup. Tanah juga adalah aset ekonomi, sebuah jaring pengaman yang sangat vital atau krusial, dan bertautan dengan identitas budaya dan sosial, bahkan dianggap sebagai leluhur dan kerabat hidup.

Bagi kebanyakan orang Indonesia, tanah adalah harta benda yang paling penting, sebuah simbol status yang ditentukan oleh kekuasaan atas tanah yang dimiliki. Dengan demikian masalah kepemilikan tanah menjadi kompleks sekali. Masyarakat lemah, petani gurem masih sering dikalahkan untuk kepentingan individu ataupun kelompok yang mengatasnamakan kepentingan umum. Ketimpangan akses atas tanah dan sumberdayanya masih sangat lebar. 

Menurut laporan Bank Dunia tahun 2015 mencatat bahwa hanya 0,2 persen orang (Orang-orang terkaya di Indonesia) menguasai 74 persen dari tanah di Indonesia, sementara yang 99,8 persen hanya memperoleh akses atas tanah sisanya yaitu 26 persen Isu ini hingga kini ini menjadi isu yang terus mengemuka di setiap saat dari dulu hingga sekarang. 

Sementara di dalam ajaran Islam Al Qur'an menetapkan hak manusia untuk mengelola, menanami dan memiliki hasil produksinya. Semua ulama Islam sependapat, bahwa pemilik hakiki atas tanah adalah Allah SWT. Adapun pengertian milik pada manusia bersifat tidak hakiki malainkan majazi dan tidak mutlak.

Dalam skala global, dalam hal akses atas tanah,  21 persen dari 14, 6 milyar hektar tanah yang dapat dihuni di dunia dikuasai oleh segelintir orang-orang terkaya di dunia. Sebaliknya lebih dari seperempat orang di dunia adalah kaum tak bertanah,yang juga kaum miskin yang mayoritas tinggal di pedesaan. Akses atas tanah dan sumberdayanya, kepemilikan dan kontrol atas tanah, dan keleluasaan memberikan atau mengalihkan hak atas tanah adalah perlu bagi pemenuhan  hak-hak manusia yang fundamental. 

Karena begitu vitalnya, dengan demiikian hak atas tanah dan sumberdayanya adalah sudah pasti merupakan hak asasi manusia. Dampak sosial dan ekonomi dari tidak memiliki akses atas tanah dan sumber dayanya adalah disamping kelaparan, juga ancaman terhadap kesehatan, tak punya rumah, eksploitasi tenaga kerja buruh, serta menciptakan kondisi eksploitasi yang intensif baik oleh pemilik tanah maupun oleh negara.

Distribusi yang tidak adil dan kurangnya akses atas tanah adalah penjelasan kunci atas kemiskinan dan kelaparan. Di banyak bagian dunia, adalah segelinitr orang-orang kaya yang memiliki tanah, bukan orang-orang miskin desa. Dan meskipun mereka punya, ketidaksetaraan didalam kekayaan dan hubungan kekuasaan membuat rakyat miskin desa menjadi lebih rentan kehilangan hak-hak mereka. 

Perjuangan untuk land reform, yang dapat mengangkat keseimbangan kekuasaan di dalam menyokong para petani tak bertanah yang termarjinalkan yang telah berlangsung selama banyak dekade, masih belum ada kemajuan yang siknifikan.  Biar bagaimanapun krisis pangan dan finansial-lah yang memperburuk kecenderungan kearah konsentrasi tanah. Karena pemerintah, korporasi-korporasi agro-indusri dan investor-investor swasta membeli dalam skala masif tanah-tanah subur di negara-negara miskin, mencabut para petani kecil dari kemampuan mereka menanam tanaman pangan mereka sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline