Brenton Tarrant, pelaku pembantaian 49 orang di dua masjid Selandia Baru yang belum lama terjadi, adalah penganut paham neo fasis dan supremasi kulit putih. Jelang dia melakukan aksinya, dia mengunggah kalimat-kalimat yang penuh kebencian terhadap imigran.
Tragedi menimpa Museum Bardo di Tunisia tahun 2015 yang lalu. Dua pria bersenjata menyambangi lokasi benda-benda bersejarah itu, menembaki pengunjung. Hasilnya 23 orang tewas, termasuk 20 turis asing dan satu polisi. Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Pesan itu disebar melalui akun Twitter ISIS.
Nyawa seorang fans Persija Haringga Sirla (23) melayang akibat dikeroyok puluhan fans Persib, saat jelang pertandingan sepak bola antara Persib versus Persija. Ini bukanlah kali pertama nyawa suporter melayang sia-sia. Kasus kekerasan yang berujung kematian di dunia sepakbola sudah beberapa kali terjadi.
Adapula orang yang fanatik terhadap penyanyi idolanya, sampai sampai membuat dirinya semirip mungkin dengan penyanyi idolanya, misalnya ada seorang penggemar atau fans nya Michael jackson yang rela mengeluarkan jutaan dollar untuk operasi iplastik hanya untuk memiliki kulit atau fisik seperti Michael Jackson.
Contoh-contoh kejadian tersebut membuat kita bertanya-tanya apa sih kesamaan dari semua contoh ekpsressi kekerasan tersebut di atas? Kurang lebih merupakan hasil dari fanatisme manusia. Apa sesungguhnya fanatisme ini yang membuat orang bereaksi dengan cara tak normal?
Makna
Ada baiknya kita terlebih dahulu merunut pada arti dan penggunaan istilah fanatisme tersebut. Istilah Fanatisme dan fanatik (Fanaticism dalam Bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin fanatice yang memiliki arti penuh kegilaan, mengamuk dan kata fanaticus, dalam bahsa Indonesia berarti sangat marah, berapi-api, heboh, fanatik. Kata sifat ini berasal dari kata dasar fanum yang memiliki arti atau makna tempat menyembah tuhan/dewa, tempat suci, kuil. Juga ada kemiripan dengan kata fano yang memilki arti memuja.
Dengan menggabungkan kata fanum dan fanaticus, maka kata fanatic dipahami sebagai "sebuah kuil pemujaan oleh orang-orang yang berpesta pora gila gilaan, edan dan heboh. Menurut penjelasan dari kamus-kamus, ambil contoh kamus Webster yang mendeskripsikan seorang fanatic sebagai "seseorang yang memiliki rasa antusias dan kegairahan yang ekstrim dan tidak kritis, seperti dalam agama dan politik". Pakar psikologi agama, Tonu Lehtsaar mendefinisikan fanaticism sebagai " Mengejar atau mempertahankan sesuatu dengan acra yang ekstrim dan diluar kenormalan.
Selanjutnya Lehtsaar menjelaskan extreme atau extremity dalam konteks ini adalah bukan berbeda dalam prinsip, tetapi berbeda dalam kadar, intensitas, frekuensi, dan seberapa pentingnya.
Ekstrimitas bukan terletak pada kualitatifnya,tapi kuantitas. Namun tak semua pelabelan ekstrim atau ekstrimis terhadap suatu golongan di dalam masyarakat tak selalu negatif. Misalnya, Pemerintah kolonial Belanda melabeli pemimpin dan masyarakat Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan istilah ekstrimis.
Begitu pula pada masa rejim totaliter orde baru melabeli orang-orang atau golongan yang membangkang atau tak setuju dengan rejim Orde Baru dengan ekstrim kanan untuk golongan agama, dan ekstrim kiri untuk golongan liberal dan kiri.
Tidak semua orang-orang dalam dua golongan tersebut adalah orang-orang fanatik, banyak dari mereka memperjuangkan demokrasi (Kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi). John Locke, seorang filsuf asal Inggris, memahami istilah fanatic sebagai orang yang intoleran dan ini yang juga sekarang ini menjadi satu makna utama dari istilah tersebut.