Telah lama digaungkan bahwa Indonesia adalah bangsa maritim. Bahkan sejak kanak-kanak kita sering mendengar lagu anak-anak bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut.
Tapi dalam kenyataanya, nasib para pelaut atau awak kapal Indonesia sungguh menyedihkan. Banyak dari mereka harus bekerja selama 20 jam sehari tanpa hari libur mingguan, tidak menerima gaji sesuai yang dijanjikan, mendapatkan perlakuan kekerasan dari kapten dan mandor.
Bahkan ada yang meninggal dunia karena dihantam tuas besi penarik tali akibat suruhan kapten kapal asing, dan juga menjadi korban perdagangan orang.
Kementrian Luar Negeri, dalam laporannya untuk kurun waktu 2012 - 2015 mencatat bahwa dari 2.238 awak kapa atau Anak Buah Kapal (ABK) migran yang dibantu, sebanyak 1.148 mengalami sengketa ketenagakerjaan, 833 kasus menjadi korban penyelundupan manusia, 287 kasus korban perdagangan orang, 94 kasus terlibat kasus perikanan ilegal (Illegal Fishing), dan ada 6 kasus penyalahgunaan narkoba.
Sementara itu dalam laporannya tahun 2016, International Organiszation of Migration, Indonesia menduduki peringkat ketiga (14%) dari keseluruhan korban dari berbagai negara. Dalam kurun waktu 2013-2017, Serikat Buruh Migran Indonesia mencatat ada empat kasus besar tindak pidana perdagangan orang yang telah dilaporkan ke kepolisisan.
Tahun 2013, ada 201 kasus ABK migran Indonesia yang dipulangkan dari Trinidad Tobago, Venezuela, dan Pantai Gading. Pada tahun 2014, ada 74 ABK yang dipulangkan dari Afrika Selatan. Tahun 2015, 26 ABK yang dipulangkan dari Jeju Island, Korea Selatan. Dan terakhir pada tahun 2016, 4 ABK migran, dipulangkan dari Afrika Selatan. Dari fakta-fakta tersebut diatas, diperkirakan, masih banyak lagi kasus ABK migran yang tidak terlaporkan.
Meskipun kebanyakan ABK migran mengalami perkara yang terkait dengan ketenagakerjaan, pemerintah malah membuat langkah yang kurang tepat dalam hal memperbaiki carut marutnya penempatan ABK migran.
Ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang malah mendahulukan ratifikasi Maritime Labor Convention ( MLC) menjadi UU No. 15 tahun 2016, ketimbang konvensi ILO No.188 tentang perlindungan pekerja perikanan. Padahal dalam MLC tersebut hanya mengatur mencakup semua pelaut dan kapal milik swasta maupun publik, dan tidak mengatur, atau mengecualikan kapal pengangkapan ikan yang beroperasi di industri sektor perikanan, kapal tradisonal besar, kapal perang atau kapal pelengkap angkatan laut.
Kebanyakan ABK migran ini tidak pernah mendapatkan atau mengikuti pelatihan keselamatan dan ketrampilan kerja, akibatnya kekerasan fisik di atas kapal dianggap wajar dan lumrah bagi ABK migran. Saat berlayar, tidak ada ketentuan yang jelas kapan kapal akan bersandar, ini penting berkaitan dengan ketentuan dan waktu penggajian, dengan kata lain gaji diberikan saat kapal bersandar.
Namun seringkali kapal tempat ABK migran bekerja tidak pernah sandar, akibatnya ABK migran tidak pernah menerima gaji. Dalam beberapa kasus, ada sejumlah ABK yang terselamatkan justru ditangkap oleh otoritas perairan dari sebuah negara, karena kapal tidak memiliki ijin operasi.
Dalam kasus ini biasanya kapten kapal yang berkebangsaan asing melarikan diri. Merekapun dipulangkan tanpa membawa gaji selama mereka bekerja.