Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Irvan Irfan

Penulis dan Aktifis Sosial

Pekerja Migran Perempuan ASEAN Butuh Tata Kelola Migrasi yang Lebih Baik

Diperbarui: 7 April 2019   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam satu dekade terakhir ini migrasi tenaga kerja di kawasan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN terus meningkat. Selama dekade terakhir itu pula nampak semakin banyaknya perempuan yang bermigrasi di kawasan tersebut. 

Separuh dari 10 juta migran di kawasan ini  adalah perempuan. Fakta tersebut membuat migrasi pekerja perempuan menjadi salah satu aspek yang penting dalam mobilitas tenaga kerja di kawasan ini dan dapat menjadi sumber daya yang berdaya guna bagi kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan yang berasal dari kontribusi pekerja migran perempuan yang siknifikan dan krusial bagi kehidupan sosial dan ekonomi komunitas mereka baik itu di negara asal ataupun di negara tujuan. 

Sayangnya, fakta-fakta menunjukkan bahwa dalam siklus migrasi, pekerja migran perempuan sangat rentan mendapatkan tindakan kekerasan dan t praktek perdagangan orang. 

Selain itu, praktik diskriminasi yang terjadi membuat terbatasnya akses mereka terhadap rekrutmen yang adil dan pekerjaan yang laya. Ditambah lagi dengan sangat kurangnya akses ke berbagai layanan perlindungan  dan dukungan. Kontribusi positif yang dihasilkan oleh pekerja migran perempuan hanya bisa terwujud dan dipastikan sepenuhnya jika ada perlindungan atas keselamatan, tenaga kerja dan hak-hak asasi mereka.

Dalam bermigrasi, praktek kekerasan merupakan ancaman serius bagi pekerja migran perempuan. Hal tersebut bisa membawa perempuan ke arah lajur migrasi yang berbahaya dan merupakan bahaya dari migrasi tenaga kerja itu sendiri. 

Migran yang tak resmi/non reguler/non prosedural dan khususnya pekerja rumah tangga migran (PRT Migran) sangat rentan mengalami kekerasan, eksploitasi, kerja paksa dan perdagangan orang . Perempuan umumnya memiliki lebih sedikit pilihan daripada laki-laki untuk migrasi resmi/reguler/prosedural. 

Baik Migrasi dengan cara atau jalur resmi (prosedural)  maupun jalur tidak resmi (non prosedural), pekerja migran perempuan harus berhadapan dengan ancaman kekerasan, eksploitasi baik itu dari calo/perantara, dan majikan, dari agen/perusahaan pengerah dan penempatan kerja, maupn dari pihak-pihak lainnya. Kekerasan terhadap pekerja migran  perempuan, tak terbantahkan lagi, merupakan bagian dari spektrum yang lebih luas dari kekerasan terhadap perempuan dan juga budaya yang mendorongnya. 

Sementara bagi mereka yang selamat dari kekerasan terhadap perempuan dan perdagangan orang, layanan masih jauh dari yang mereka butuhkan. Layanan masih sulit diakses, dan tidak terkordinir dengan baik diantara lembaga, termasuk kepolisian, pengadilan, layanan kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Memang ada kemajuan di ASEAN dalam menangani kekerasan terhadap perempuan, namun masih banyak yang harus diperbaiki dan dilakukan. Perubahan budaya seputar kekerasan  terhadap perempuan dalam seluruh proses migrasi dan mendorong pendekatan yang berdasarkan hak dan  lebih responsif gender terhadap tata kelola migrasi yang aman dan adil sangat diperlukan bagi terciptanya migrasi tenaga kerja yang aman dan adil bagi semua perempuan di kawasan Asia Tenggara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline