Lihat ke Halaman Asli

Bukan untuk Perusahaan, Bukan untuk Negara, Bukan untuk Agama, Tapi untuk Kemanusiaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kali ini saya mau menulis tentang mahasiswa.

Biarkan saya bercerita dulu mengenai hal ini, saya tinggal di sebuah asrama  yang telah berdiri selama 61 tahun pada 2013. Bila ditelusur berarti asrama saya telah berdiri sejak 1952 dan telah ikut mengalami berbagai peristiwa yang berhubungan dengan gejolak-gejolak politik dan pemerintahan. Da saya telah mendengar dari pimpinan asrama kami yang telah lebih dari 30 tahun mengabdi di asrama. Kisah-kisah berani dan patriotik mahasiswa jaman dulu. Keberanian, spontanitas, sikap kritis yang tidak dimiliki mahasiswa jaman ini. Melempem kalau saya bilang.

Saya mungkin bukan orang pertama yang membahas hal ini, namun saya ingin sekali menuangkannya dalam tulisan karena sering menyita pikiran saya. Bila saya bilang, orang-orang muda era ini dipusingkan dengan hal-hal remeh temeh, macam gelombang budaya Korea, trend fashion terbaru, maupun isu fundamental agama. Topik-topik pembicaraan tidak jauh dari seputar tontonan terbaru, tempat nongkrong asik, gosip artis ini itu. Budaya diskusi dan topik-topik yang lebih “intelek” jarang terdengar selain di ruang kelas. Tidak salah memang, karena era ini adalah era dimana tiap individu punya kesempatan mahaluas untuk berkreasi dan menyalurkan minatnya pada berbagai bidang. Sangat berbeda dengan era tahun 1940-1970 an di Indonesia, dimana pada era itu lebih hangat diwarnai isu perjuangan dan pembebasan. Mungkin itu sebabnya terdapat gap yang muncul antara golongan tua yang lahir pada era itu dengan golongan muda sekarang. Golongan tua menganggap golongan muda saat ini tidak menjiwai nilai-nilai kenegaraan dan sosial, bersikap pragmatis dan instan. Sementara menurut kacamata golongan muda saat ini, yang penting adalah ruang yang menggambarkan kebebasan berekspresi atau entah dalam ilmu psikologi disebut kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan dalam pandangan mereka golongan tua hanya banyak berbicara soal isu-isu lama yang tidak relevan dengan situasi saat ini. Begitu cepatnya perubahan dunia sehingga gap itu tidak sempat terjembatani dengan baik.

Namun pergeseran ini dalam beberapa hal nampak menyedihkan. Saya telah menyadarinya sejak di bangku kuliah, namun saya sendiri tidak pernah berusaha mendalaminya, bahkan mungkin saya acuh tak acuh, dikarenakan mungkin sedikit banyak saya adalah golongan muda yang konon cuek. Baiklah coba kita tanya sekarang pada sebagian mahasiswa, apa yang diinginkan setelah kelar studi di bangku kuliah. Bekerja di perusahaan mulitinasional dengan gaji melimpah? Menjadi PNS karena jaminan masa tua? Menjadi wirausahawan muda karena sedang tren? Oke saya tidak berusaha untuk bersikap sinis. Mungkin beberapa orang memiliki cita-cita tulus untuk pembangunan, tapi cobalah jujur, untuk sebagian lainnya selain money oriented, apa motivasinya kalau bukan membuat diri sendiri merasa aman baik secara finansial maupun psikis.

Seperti pada judul yang saya tempel di atas. Pada akhirnya selayaknya para alumni perguruan tinggi mengabdi kepada kemanusiaan, seperti yang jelas tertera pada tri dharma perguruan tinggi dan yang sayangya terlupakan. Negara tidak selamanya harus dipuja dan disembah. Menjadi seorang nasionalis itu bukan menjadi menjadi budak dan promotor negara dan mendewakan negara. Menjadi nasionalis itu membutuhkan mata yang melihat, telinga yang mendengar, dan mulut yang berbicara. Jangan hanya asal jiplak kalimat cinta negara, tapi berani bersuara ketika perangkat negara terjun bebas ke arah kebobrokan. Kita tengok saja ke belakang pada masa peralihan orde lama dan orde baru. Pada tiap era terdapat cela, dan pemerintah tentu saja tidak selalu benar.

Bekerja untuk suatu perusahaan tentu saja tidak serta merta menutup kesempatan bagi kita untuk mendedikasikan diri pada kemanusiaan. Perusahaan pun turut serta dalam pembangunan peradaban. Namun seperti yang kita tahu, dengan bekerja untuk suatu perusahaan tertentu, biasanya perusahaan melakukan “doktrinasi” nilai-nilai dan budaya perusahaan. Hal ini tidak lain adalah untuk mempertahankan loyalitas pegawai pada perusahaan. Sama seperti kepada negara, kita harus selalu ingat, loyalitas kita bukan pada perusahaan, namun sejauh mana kita mampu menggunakan ilmu dan kemampuan kita untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan.

Hal yang ketiga perihal agama. Saya tidak mau berbicara banyak soal ini, karena lebih subjektif. Yang jelas, agama adalah hal untuk mendekatkan kita pada entitas tertinggi, YME, apapun agamanya. Dan semua manusia adalah ciptaan YME. Silogismenya silakan disimpulkan sendiri.

Yang mau saya katakan adalah baik perusahaan, negara, maupun agama, pada hakikatnya adalah sarana. Sarana bagi kita untuk mengabdi kepada kemanusiaan. Dan ketika sarana itu nampak menjauhkan kita pada hakikat kemanusiaan, mungkin pada tingkat yang paling ekstrem adalah melepaskan sarana itu.

Yogyakarta, 16 April 2013

Di bulan2 terakhir di Yogya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline